Pembentuk UU Jelaskan Rasionalitas Perppu 1/2020 Saat Disahkan
Utama

Pembentuk UU Jelaskan Rasionalitas Perppu 1/2020 Saat Disahkan

DPR diminta mengawal pelaksanaan Perppu 1/2020 penanganan Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonoiman nasional dan sistem stabilitas keuangan nasional. Dalam lima catatannya, PSHTN FHUI menyimpulkan pelaksanaan Perppu 1/2020 potensi besar disalahgunakan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Tanpa perdebatan panjang, pengambilan keputusan tingkat dua berjalan mulus atas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 tentang  Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19. Setelah itu, Ketua DPR Puan Maharani mengetuk palu sidang dalam rapat paripurna di Komplek Gedung Parlemen sebagai tanda persetujuan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU.

 

“Apakah RUU tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 disetujui dan disahkan menjadi UU?” tanya Puan, Selasa (12/5/2020). Serempak anggota dewan yang hadir memberi persetujuan. (Baca Juga: Menyoal Pasal Imunitas dalam Perppu Covid-19 Jelang Disahkan)

 

Dalam laporan akhirnya, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Muhammad Said Abdullah mengatakan pembahasan Perppu 1/2020 setelah mendapat penugasan dari pimpinan DPR. Dia mengakui dalam pembahasan Perppu 1/2020 tak semua fraksi memberi persetujuan secara bulat.

 

Namun, demikian, delapan fraksi memberikan persetujuan agar Perppu 1/2020 diparipurnakan untuk disahkan menjadi UU. Sementara satu fraksi yakni Fraksi PKS sejak awal pembahasan menolak keras keberadaan Perppu 1/2020. Selain dipandang melanggar konstitusi, juga memangkas fungsi budgeting DPR.

 

Inti laporan Banggar yang dibacakan Said mengulang sejumlah catatan dari sembilan fraksi. Misalnya catatan masing-masing fraksi partai senada seperti aturan imunitas penyelenggara negara dalam penanganan Covid-19 dan ancaman terhadap perekonomian nasional yakni ketentuan Pasal 27 Perppu 1/2020. Begitu pula dengan fleksibilitas defisit APBN yang ditentukan sebesar 3 persen sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Perppu 1/2020.

 

Terhadap berbagai pandangan itu, Banggar DPR akhirnya memutuskan Perppu layak diberikan persetujuan. Sebab, di tengah situasi luar biasa dibutuhkan penanganan luar biasa dengan kebijakan dan regulasi yang luar biasa.

 

“Menerima Perppu 1/2020 untuk dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat dua berupa pengambilan keputusan untuk disahkan menjadi UU. Sementara Fraksi PKS menolak RUU tentang Penetapan Perppu 1/2020 untuk disahkan menjadi UU,” ujar politisi  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

 

Dalam pandangan akhirnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pandemi Covid-19 menyebabkan banyak negara melakukan langkah luar biasa dengan meningkatkan defisit APBN mencapai 10 persen. Begitu pula kebijakan moneter melonggarkan regulasi di sektor sistem keuangan.

 

Pemerintah Indonesia pun menempuh langkah luar biasa terhadap ancaman Covid-19 di bidang kesehatan dan perlindungan masyarakat melalui jaringan pengaman sosial. Dalam pengambilan kebijakan langkah luar biasa oleh pemerintah dan lembaga terkait perlu dipayungi produk hukum yang memadai di tengah kegentingan memaksa.

 

“Setelah mendapat berbagai masukan dan pertimbangan, pemerintah yakin menerbitkan produk hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa adalah dengan Perppu dengan mendasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945,” kata Sri Mulyani.

 

Bagi Sri Mulyani, melalui berbagai pertimbangan dan sejumlah faktor, akhirnya Presiden Joko Widodo menggunakan haknya dengan menerbitkan Perppu 1/2020 pada 31 Maret lalu. Tujuannya memberikan landasan hukum bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan luar biasa di sektor kesehatan dan keuangan. Kemudian produk hukum ini sebagai bentuk implikasi dan antisipasi terhadap ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan negara.

 

Pemerintah dalam Perppu 1/2020 diberikan kewenangan dalam penyesuaian batas standar 3 persen defisit. Tujuannya agar pemerintah dapat menyediakan pendanaan anggaran bagi sektor kesehatan, jaringan pengaman sosial, dan pemulihan perekonomian nasional. Terutama bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta menjaga stabilitas keuangan negara.

 

“Sementara penerimaan negara mengalami penurunan. Kewenangan defisit anggaran tidak sewenang-wenang dan sembrono. Tetapi untuk menentukan defisit, tidak dapat diprediksi kapan berakhir serta dampak buruk terhadap perekonomian dan sosial kita,” kata dia.

 

Dia meyakinkan DPR, bahwa pengambilan kebijakan melalui Perppu 1/2020 ini dilakukan dengan memperhatikan tata kelola pemerintahan yang baik, akuntabilitas, dan integritas. Menurutnya, kewenangan pembatasan defisit 3 persen berlaku maksimal sampai akhir 2022. Namun, bukan tidak mungkin kurang dari satu tahun dengan catatan recovery perekonomian dapat berjalan dengan cepat seusai masa pandemi Covid-19.

 

Soal tujuan dari mencantumkan frasa ‘adanya itikad baik’ dalam Pasal 27 Perppu 1/2020 ini, kata Sri Mulyani, tidak dimaksudkan imunitas absolut. Namun lebih meningkatkan kepercayaan diri pengambil dan pelaksana kebijakan dalam kerangka dan sistem hukum sesuai Perppu 1/2020 ini. Menurutnya, ketentuan perlindungan hukum merupakan hal lazim diberikan UU bagi para pihak dalam menjalankan tugas yang diatur dalam berbagai UU.

 

Seperti UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) dan UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Bahkan, dalam Putusan MK terkait Pengujian UU MD3 itu, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah tidak mempersoalkan klausul perlindungan hukum bagi pelaksana kebijakan sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

 

“Peran dukungan DPR senantiasa kami harapkan mengawal pelaksanaan Perppu 1/2020 dalam penanganan Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonoiman nasional dan sistem stabilitas keuangan nasional,” ujarnya.

 

Berpotensi disalahgunakan

Terpisah, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) berpandangan, terdapat paling kurang lima catatan kritis terkait materi muatan Perppu No. 1/2020. Ketua PSHTN FHUI Mustafa Fakhri, kelima catatan itu semestinya menjadi pertimbangan dalam pembahasan dan pengesahan Perppu ini.

 

Pertama, Perppu 1/2020 berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan oleh Presiden. Pasal 12 Perppu No. 1/2020 memberi ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres. “Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara,” kata Mustafa dalam keterangannya.

 

Kondisi ini bakal membuat celah Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa adanya persetujuan dari rakyat melalui DPR. Padahal, salah satu gagasan besar dari tercetuskannya gerakan reformasi 22 tahun silam adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif.

 

Kedua, substansi dari Pasal 27 Perppu No. 1/2020 menjadikan hilangnya sejumlah pengawasan konstitusional DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang boleh jadi dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19.

 

Bagi Mustafa, Pasal 27 dinilai memberi imunitas terhadap semua pihak yang disebutkan dalam Perppu No. 1/2020, termasuk juga pengguna anggaran. Bahkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu No. 1/2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN.

 

“Hal ini tentu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’ serta pelanggaran terhadap prinsip rule of law dimana equality before the law menjadi salah satu elemen penting dalam negara hukum,” kata dia mengingatkan.

 

Ketiga, Pasal 28 Perppu No. 1/2020 yang meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020, menurut Perppu ini hanya diatur melalui Perpres No. 54/2020. Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang seharusnya melibatkan partisipasi rakyat yang diwakili DPR  (fungsi budgeting). Selain itu, pembentukan APBN diatur tegas dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Dengan demikian, Pasal 28 Perppu 1/2020 secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

 

Keempat, Perppu No. 1/2020 memiliki pendekatan yang tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam Perppu 1/2020 dinilainya tidak tergambar secara jelas tentang bagaimana public health policy yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi Covid-19.

 

Kelima, tidak adanya definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan frasa “Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Demikian pula, frasa “Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Menurutnya, tidak  ditemukan kriteria yang menentukan dua kondisi tersebut dalam pasal-pasal Perppu No. 1/2020 ini.

 

“Ketiadaan pengertian tersebut akan berdampak pada kelonggaran para pelaksana kebijakan untuk menyatakan dalil instabilitas keuangan tanpa adanya tolak ukur. Dalam kondisi demikian, pelaksanaan Perppu tersebut berpotensi besar untuk disalahgunakan.”

Tags:

Berita Terkait