Pembentuk UU Diminta Kaji Ulang Living Law dalam RKUHP
Berita

Pembentuk UU Diminta Kaji Ulang Living Law dalam RKUHP

Dikhawatirkan penentuan perbuatan masuk atau tidaknya hukum yang hidup di masyarakat berada di tangan aparat penegak hukum (subjektif) yang berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang. Karena itu, pembentuk UU juga diminta untuk menerangkan konsep living law dalam RKUHP.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus dilakukan antara Panja DPR dengan pemerintah. Sebab, pembahasan RKUHP telah ditargetkan rampung dan disahkan pada 2018 ini. Sayangnya, meski pembahasan sudah masuk finalisasi buku II, namun dinilai pemerhati RKUHP masih menyisakan sejumlah persoalan, terutama asas legalitas dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

 

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Erasmus Napitupulu berpandangan dalam buku I RKUHP memang masih menyisakan pasal yang bermasalah, khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat (living law). Pengaturan ketentuan tersebut diatur dalam draf RKUHP Pasal 2 ayat (1), dan (2). Ketentuan living law tersebut menjadi pengecualian/penyimpangan dari asas legalitas.

 

Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP terus mendorong DPR untuk meminta pemerintah menjelaskan pengaturan living law secara gamblang. Pemerintah pun belum memberi penjelasan terkait posisinya terkait pasal ini, begitu pula dengan Panja RKUHP di DPR. “Sampai saat ini belum jelas bagaimana posisi pemerintah dan DPR terkait pasal ini,” ujarnya, Rabu (17/1) di Jakarta.

 

Pria yang biasa disapa Eras itu melanjutkan permintaan Panja RKUHP ke pihak pemerintah yang dimaksud terkait data kompilasi hukum adat mana saja yang dapat dikategorikan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, Eras khawatir, penentuan perbuatan masuk atau tidaknya hukum yang hidup di masyarakat berada di tangan aparat penegak hukum (subjektif) yang berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang.

 

Pasal 1

(Naskah hasil pembahasan Panja RKUHP per 24 Februari 2017)

  1. Tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
  2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

 

Pasal 2

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku  sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup.

 

Eras yang kini menjabat Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini memiliki sejumlah catatan. Pertama, penolakan adanya perluasan asas legalitas dengan memasukan penerapan living law dalam RKUHP. Sebab, dia beralasan tindak pidana yang sudah diatur dalam RKUHP sudah mencakup tindak pidana dalam hukum adat.

 

Baca juga:

 

Terlebih, dalam RKUHP sudah banyak muncul tindak pidana baru yang disesuaikan dengan praktik peradilan dan dinamika sosial di tengah masyarakat. Baginya, perbedaan karakter mendasar antara hukum pidana dengan hukum adat, terletak pada asas legalitasnya. Bila  hukum pidana mengharuskan ketentuan aturan tertulis (legalitas), sedangkan living law tidak tertuilis.

 

“Hukum adat tidak melihat apakah suatu perbuatan tersebut diakibatkan faktor kesengajaan atau kelalaian, melainkan melihat pada akibat yang ditimbulkan,” ujarnya.

 

Kedua, cakupan living law terlampau luas dan tanpa definisi dan pembatasan yang jelas. Ia khawatir penerapan living law bakal menimbulkan banyak penafsiran atau multitafsir dalam penerapan hukumnya. Ketiga, aturan tersebut menyimpangi unifikasi hukum yang diharapkan dalam kodifikasi RKUHP. Di tengah heterogennya masyarakat Indonesia, penerapan living law berpotensi ruwet-nya sistem hukum negara.

 

Padahal, dengan RKUHP diharapkan adanya proses dan pemeriksaan yang seragam, bukan sebaliknya bertentangan unifikasi hukum. Keempat, penerapan living law bukan tidak mungkin menyebabkan overkriminalisasi terhadap perbuatan yang sebenarnya tidak diatur serta dilarang dalam peraturan perundangan yang berlaku.

 

Ini akan menjadi batu sandungan terhadap asas legalitas yang diatur Pasal 1 ayat (1) RKUHP yang menghomati perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia, dimana terdapat batasan terhadap penghukuman pada seseorang. Sebab, pemberian hukuman yang berlebihan dan tidak disertai dasar yang jelas adalah pelanggaran hak asasi manusia,” dalihnya.

 

Kelima, dalam Pasal 1 ayat (2) RKUHP menetapkan adanya larangan mempidanakan seseorang atas dasar analogi. Menurut Eras, penggunaan analogi dalam hukum pidana bertujuan mendukung kepastian hukum. Karena itu, larangan analogi itu justru bertentangan dengan gagasan masuknya living law dalam RKUHP. Sebab, menurutnya sejatinya hukum adat merupakan analogi yang bersifat gesetz karena analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat (dilarang) dalam hukum pidana. Dengan begitu, telah terjadi pertentangan antara kedua hal tersebut.

 

"Atas dasar poin-poin tersebut, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendorong DPR dan Pemerintah untuk mengkaji ulang dan lebih mendalam terkait masuknya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pengecualian asas legalitas dalam RKUHP," tegasnya.

 

Anggota Panja RKUHP Saiful Bahry Ruray enggan berkomentar banyak. Sebab, Panja RKUHP sedang melakukan pembahasan draf RKUHP di hotel Le Meridien. Perihal pasal apa saja yang dibahas, Saiful pun enggan berkomentar. “Iya masih dibahas draf RKUHP di situ,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Golkar itu.

Tags:

Berita Terkait