Pembenahan Manajemen Perkara untuk Hadirkan Keadilan
Reformasi Peradilan:

Pembenahan Manajemen Perkara untuk Hadirkan Keadilan

Beragam kebijakan dikeluarkan Mahkamah Agung untuk modernisasi manajemen perkara. Ketepatan waktu sidang masih menjadi problem.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Diskusi transparansi manajemen perkara dalam IJRF 2018 di Jakarta. Foto: Res
Diskusi transparansi manajemen perkara dalam IJRF 2018 di Jakarta. Foto: Res

David Sanaki, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Merah Putih Pemersatu Bangsa, tak habis pikir bagaimana berkas perkara penganiayaan kliennya hilang tak jelas. Penelusuran ke Mahkamah Agung tak membuahkan hasil, diperoleh informasi bahwa berkas perkara belum masuk. David dan kliennya lalu menanyakan ke Pengadilan Tinggi Banten. Dari sini diperoleh informasi bahwa berkas kasasi David sudah dikirimkan ke Mahkamah Agung sejak Juli 2017. Kemanakah berkas perkara itu

David merasa ada keanehan dalam pengiriman berkas. Perkara yang sejak awal diregister dalam pidana khusus karena korbannya anak di bawah umur, tiba-tiba diubah menjadi pidana umum. Tetapi yang paling fatal adalah ketidakjelasan berkas perkara. “Kami sudah tanya ke Mahkamah Agung, setelah ditelusuri ternyata berkas tidak ditemukan,” ujarnya, Rabu (24/1) lalu.

Apa yang dialami David menunjukkan manajemen perkara di pengadilan dan dokumen pendukung belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Padahal di era pelayanan publik seperti sekarang, masyarakat berharap pengadilan juga memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan murah. Beragam kebijakan juga sudah ditempuh Mahkamah Agung dalam penanganan perkara. Penanganan berkas baru satu soal. Masih banyak masalah lain yang perlu dibenahi.

Ketepatan waktu, misalnya, masih menjadi problem yang sulit dijalankan pengadilan karena banyak sebab. Para pencari keadilan sangat dirugikan jika manajemen waktu penanganan perkara tidak ditangani dengan baik. Yang dirugikan bukan hanya pencari keadilan, tetapi juga para pihak yang berhubungan dengan pengadilan. Imbasnya lebih luas daripada yang dibayangkan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Eddy O.S Hiariej punya pernah mengalami langsung kondisi tak mengenakkan. Didaulat memberikan keterangan sebagai ahli, Prof. Eddy sudah hadir di pengadilan sejak pukul sembilan pagi. Ternyata, sidang molor dan setelah dimulai pun tak secepat yang diperkirakan. Prof. Eddy baru bisa memberikan keterangan pada dini hari. Persoalannya bukan sekadar ketepatan waktu, tetapi juga pemanfaatan waktu. Ia melihat manajemen perkara di pengadilan saat ini belum efisien.

Eddy menyebut sedikitnya ada tiga penyebab inefisiensi manajemen perkara di lingkungan peradilan. Pertama, tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan masih rendah. Ini terjadi karena masyarakat belum percaya terhadap pengadilan tingkat pertama dan banding, akhirnya perkara berlanjut ke tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Pada tahun 2015, sisa perkara kasasi yang belum putus berjumlah 3.267. Perkara kasasi masuk tahun 2016 berjumlah 11.045. Berhasil diputus 12.212 perkara. Sehingga memasuki tahun 2017, Mahkamah Agung masih harus memutus 2.100 tunggakan perkara, plus 240 perkara tingkat peninjauan kembali (PK). Itu belum termasuk yang didaftarkan pada tahun berjalan, dan belum termasuk jenis perkara lain seperti hak uji materiil, grasi, dan sengketa kewenangan mengadili.

(Baca juga: Fungsi Layanan Pengadilan Mesti Jadi Perhatian MA).

Kedua, pembagian wilayah yuridiksi pengadilan tidak berdasarkan beban perkara. Akibatnya, ada daerah yang perkaranya menumpuk sehingga hakim harus menangani banyak perkara, tapi ada juga daerah yang perkaranya sedikit. Pengadilan di Jakarta dan daerah penyangga sekitarnya menangani beban perkara yang relatif lebih banyak dibanding pengadilan di Papua Barat, misalnya.

Ketiga, beban tugas aparat penegak hukum. Misalnya, hakim yang menangani dan mengadili perkara hingga larut malam justru tidak efektif. Menurut Eddy, majelis hakim yang bertugas sampai tengah malam sulit berpikir tenang dan dapat memutus perkara secara adil. “Bayangkan, untuk memanajemen sidang dimulai dari jam berapa sampai selesai jam berapa saja tidak mampu, bagaimana mengharap putusan yang adil,” kata Eddy dalam diskusi panel Indonesian Judicial Reform Forum (IJRF) di Jakarta, Senin (15/01).

Koordinator Sektor Manajemen Perkara, Proyek EU-UNDP SUSTAIN, Ariyo Bimmo, menilai soal rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan tidak bisa dibenahi dalam sekejap. Perbaikan itu bisa dimulai dengan cara membenahi manajemen perkara, misalnya sidang dilaksanakan tepat waktu sesuai jadwal. Dia yakin jika ketepatan waktu dijalankan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sedikit berkurang.

Ariyo melihat beberapa tahun ini MA bekerja keras membenahi manajemen perkara. Untuk menelusuri perkara, masyarakat bisa mudah melakukannya melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Selain itu, encari putusan bisa menggunakan Direktori Putusan. Tak kalah penting masyarakat harus aktif menggunakan sistem yang sudah tersedia seperti Sistem Pengawasan MA RI (Siwas).

(Baca juga: Kualitas Pelayanan Pengadilan Masih Sulit Dapatkan Pengakuan Publik).

Untuk membenahi manajemen perkara di pengadilan menurut Ariyo butuh peran berbagai pihak selain aparat yang berada di bawah naungan MA tapi juga jaksa, lapas, dan kepolisian. Oleh karenanya Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) harus tuntas, bukan sekadar pertukaran data tapi juga bisnis prosesnya di tingkat bawah. Kemudian untuk MA, segala hal yang masih dikerjakan secara manual seperti registrasi harus dialihkan menjadi digital. “Tuntaskan modernisasi manajemen perkara, jangan setengah-setengah,” tukasnya.

Ketua PTUN Jakarta, Ujang Abdullah, mengatakan manajemen perkara di pengadilan saat ini sudah lebih baik daripada beberapa tahun lalu. Melalui kebijakan MA untuk reformasi peradilan, sekarang pengadilan berlomba untuk melakukan perbaikan. Pada pengadilan yang dipimpinnya Ujang menyebut sudah terjadi perubahan seperti membentuk majelis tetap sehingga antar persidangan tidak saling menunggu.

Salah satu contoh adalah PTUN Jakarta. Agar jadwal persidangan tepat waktu, PTUN Jakarta membagi waktu pemanggilan para pihak yakni pagi dan siang. Tapi ia tetap mengakui tidak mudah untuk membuat sidang berjalan tepat waktu karena bergantung pada kehadiran para pihak yang berperkara. Jika majelis hakim tidak menunggu para pihak dan membuka persidangan, Ujang menyebut majelis rentan dilaporkan. “Oleh karenanya majelis harus berhati-hati dan memperhatikan kehadiran para pihak,” ucapnya.

Untuk mendorong pengadilan melakukan terobosan dalam manajemen perkara, Ujang mengusulkan adanya penilaian rutin  dan model perlombaan. Hal itu penting agar setiap struktur yang ada di pengadilan memiliki motivasi untuk melakukan perubahan dan inovasi. Selain itu, dibutuhkan sarana dan prasarana yang mendukung. Tak kalah penting, sistem itu harus dibangun dari pengadilan tingkat pertama sampai MA. Berkaitan dengan itu, Mahkamah Agung memang sudah menyelenggarakan lomba inovasi pengadilan. Lomba inovasi antar pengadilan perlu terus dijalankan.

Panitera Mahkamah Agung, Made Rawa Aryawan, mengatakan molornya jadwal sidang dipengaruhi beberapa faktor seperti dalam perkara pidana melibatkan banyak pihak mulai dari lembaga pemasyarakatan dan rutan, hingga kepolisian dan pengacara. Misalnya persidangan belum mulai karena pengawalan belum siap. Sidang pidana belum bisa digelar karena menunggu tahanan dari rumah tahanan. Karena itu, kata Made, untuk menggelar sidang tepat waktu, dibutuhkan kedisiplinan dari semua pihak.

Transparansi

Made menjelaskan Mahkamah Agung telah melakukan upaya untuk membuat manajemen perkara menjadi transparan, mudah diakses masyarkat. Misalnya, Ketua MA menerbitkan SK Ketua MA No.144 Tahun 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan, putusan MA dipublikasikan melalui Direktori Putusan MA yang diakses melalui website. Aturan itu diperbaharui melalui SK Ketua MA No.1-144 Tahun 2011, direktori putusan menjadi pusat data putusan MA dan badan peradilan di bawahnya. Terakhir tahun 2017 MA melakukan simplifikasi format putusan dan pembayaran biaya perkara menggunakan virtual account.

Untuk mengunduh setelah putusan dibacakan, Made menyebut itu baru bisa dilakukan hanya untuk amar putusan. Hal ini dilakukan untuk menghindari jual beli informasi oleh oknum. Untuk keseluruhan putusan masih membutuhkan waktu lebih karena harus melewati proses koreksi dan revisi.

Fokus MA saat ini dalam membenahi manajemen perkara yakni mempercepat penyelesaian perkara dan administrasinya. Salah satu upaya yang akan ditempuh menurut Made yakni menggunakan template putusan. Dengan cara itu diharapkan dapat mempercepat terbitnya putusan karena sudah ada formatnya. “Ini bisa mempercepat minutasi, untuk perkara di MA bisa dipangkas 2 bulan. Kalau dulu putusan bisa ratusan sampai ribuan lembar, sekarang dengan template itu tidak terjadi lagi,” urai Made.

Dengan segala upaya yang telah dilakukan Made berharap penanganan perkara bisa dipercepat. Begitu pula dengan penyampaian informasi perkara kepada publik. Sehingga dapat terwujud penyelenggaraan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.

Hampir Tuntas

Sebenarnya, dalam pandangan Ariyo, modernisasi manajemen perkara di MA hampir tuntas. Saat ini MA masih melakukan peralihan dari mekanisme manual ke digitalisasi, dan yang belum dilakukan yaitu otomatisasi. Melalui otomatisasi semua data yang dimasukan dalam sistem bisa digunakan sistem lain tanpa memasukan data lagi karena sudah terintegrasi. Misalnya, data  perkara yang ada di SIPP, harusnya bisa digunakan untuk menganalisis beban kerja, promosi dan mutasi hakim. Alhasil, masih ada pengadilan yang belum memiliki hakim untuk bidang khusus seperti anak, korupsi dan perikanan. “Jadi modernisasi itu tidak hanya masalah digitalisasi tapi otomatisasi,” kata Ariyo.

(Baca juga: Independensi dan Akuntabilitas Peradilan Harus Sama-Sama Diperjuangkan).

Ariyo melihat capaian MA sampai saat ini mengenai transparansi manajemen perkara sudah baik, namun kurang memperhatikan pengadilan tingkat pertama dan banding. Padahal kedua pengadilan itu perlu disorot karena semua perkara yang berlabuh di MA berawal dari sana. Karena itu Ariyo menekankan agar perkara yang dikelola di pengadilan tingkat pertama dan banding harus transparan dan akuntabel sehingga bisa dipercaya masyarakat. Jika itu terwujud dia yakin masyarakat yang ingin mengajukan kasasi akan berpikir ulang karena pengelolaan perkara di pengadilan tingkat pertama dan banding sudah benar. Misalnya, membentuk sistem yang bisa memilih majelis hakim agar sesuai dengan perkara yang akan ditangani. Pemilihan itu mencermati pendidikan hakim dan jenis perkara yang sering diampunya.

Ariyo mengingatkan agar pembenahan manajemen perkara di pengadilan jangan hanya fokus pada aktualisasi dan organisasi tapi juga proses sebelum perkara disidangkan. Salah satunya memilih hakim yang menangani perkara sesuai rekomendasi sistem sehingga obyektif. Untuk menjalankan itu dibutuhkan kebijakan yang diterbitkan Ketua MA.(FNH)

Tags:

Berita Terkait