Pembela HAM Butuh Perlindungan
Berita

Pembela HAM Butuh Perlindungan

RUU Pembela HAM masuk Program Legislasi Nasional. Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Butuh masukan.

DNY
Bacaan 2 Menit
Foto:Sgp.
Foto:Sgp.

Para pembela hak asasi manusia atau yang bisa disebut human right defenders, adalah orang-orang yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia itu sendiri. Mulai dari upaya kriminalisasi hingga ancaman kekerasan fisik dan psikis. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berkali-kali menerima pengaduan tentang kekerasan terhadap pembela HAM.

 

Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, menilai peraturan perundang-undangan Indonesia masih memberi celah untuk menghukum para pembela tadi dalam konteks aktivitas mereka mengadvokasi HAM masyarakat. Yang sering dipakai adalah pasal-pasal pencemaran nama baik. Selain itu, Ifdhal menganggap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa digunakan untuk membatasi ruang gerak human rights defender.

 

Komisioner Komnas HAM M. Ridla Saleh berpendapat para pembela HAM memiliki masalah spesifik dan membutuhkan penanganan yang spesifik. Penanganan yang spesifik dibutuhkan agar para pembela HAM tak dikriminalkan begitu saja karena aktivitas mereka mengadvokasi masyarakat. Karena itu, Komnas HAM berencana membentuk desk tersendiri untuk Pembela HAM.

 

Namun, desk khusus tidak dimaksudkan untuk melembagakan pembela HAM menjadi satu profesi. “Bukan institusionalisasi, tapi desk HRD ini dibentuk secara kontekstual karena treatment terhadap human right defender sangat spesifik,” terang Saleh.

 

“Hampir seluruh kasus yang masuk ke dalam Komnas HAM yang bersifat massal, selalu ada unsur human right defender.” lanjut Ridla. Komnas HAM sebagai institusi negara yang memiliki fungsi penegakan HAM ingin menempatkan pembela HAM dengan respon dan penanganan yang lebih adil dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

 

Wakil Direktur Human Right Working Group, Chairul Anam berpandangan melindungi pembela HAM tidak hanya melindungi tubuh dan fisik, tetapi juga gagasan. Karena, gagasan yang dimiliki melindungi nasib dan kepentingan bangsa. “Human right defender menyumbangkan jauh lebih besar soal demokratisasi dan hak asasi manusia di Indonesia daripada aparatur negara,” ujar Anam.

 

Anam mengungkapkan bahwa ada dua dimensi perlindungan, yaitu proteksi dan efektivitas kerja. Untuk efektivitas kerja, dimensinya adalah memfasilitasi semua aktivitas human right defender, terutama untuk pembelaan HAM dan pembela kebijakan publik. Misalnya, membuka ruang informasi, dan partisipasi yang seluas-luasnya, baik dalam proses pembentukan UU maupun dalam penyelesaian kasus. “Sehingga tidak ada lagi teman-teman yang bekerja misalnya menyelesaikan kasus meminta dokumen-dokumen kasus harus bayar,” terang Anam.

 

Menurut Anam, pembela HAM harus didahulukan dalam pemenuhan informasi dan partisipasi tersebut. Pengertian dari pembela HAM bukan berorientasi pada individu, melainkan pada aktivitas.  “Siapapun orangnya ketika dia melakukan aktivitas pembelaan hak asasi manusia dengan tanpa memilih-milih nilai hak asasi manusia, dan dilakukan secara kontiniu, dia bisa disebut sebagai human right defender,” jelas Anam.

 

RUU Pembela HAM

Perlunya perlindungan hukum terhadap human right defender dituangkan ke dalam RUU Pembela HAM. RUU ini masuk Program Legislasi Nasional 2010. Kasubdit Legislasi dan Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Agus Purwanto, berharap ada masukan dari pemangku kepentingan terhadap RUU tersebut.

 

Menurut Agus, Kementerian Hukum dan HAM bisa berkontribusi dalam perlindungan human right defender pada tingkat legislasi. Maksudnya, merancang dan membahas peraturan perundang-undangan yang berperspektif hak asasi manusia.

 

Masalahnya para pemangku kepentingan belum tentu memiliki pandangan sama. Pasti ada pihak yang melihat keberadaan para pembela HAM dari kacamata hukum positif semata. Karena itu, masukan dari berbagai pihak harus mendorong RUU tersebut berperspektif hak asasi manusia. “Bagaimana kemudian memiliki persepsi HAM ke dalam RUU, sehingga paling tidak RUU tidak diskriminatif atau interpretatit,” jelas Agus.

 

Misalnya. apabila di level pelaksana tugas, si pelaksana itu melakukan tugas yang baik, atasan ya harus bisa memberi penghargaan. “Karena memang aktivitas yang dia lakukan itu mungkin melebihi kapasitas dia sebagai seorang pegawai negeri, birokrat yang kadangkala hanya menjalani rutinitas,” ujar Agus.

 

Tags: