Pembatasan Transaksi Tunai Cegah Peluang Korupsi
Utama

Pembatasan Transaksi Tunai Cegah Peluang Korupsi

Lebih komprehensif apabila aturan pembatasan transaksi tunai ini diatur dalam sebuah UU.

FATHAN QORIB
Bacaan 2 Menit
Acara Seminar & Focus Group Discussion mengenai Pemberantasan Transaksi Tunai dan Pemberantasan Tipikor. Foto: FAT
Acara Seminar & Focus Group Discussion mengenai Pemberantasan Transaksi Tunai dan Pemberantasan Tipikor. Foto: FAT

Koalisi masyarakat menilai perlunya aturan yang berisi mengenai pembatasan transaksi tunai di perbankan. Menurut Peneliti Indonesian Legal Roundable (ILR) Andri Gunawan, aturan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

“Pembatasan transaksi tunai akan mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, ini merupakan upaya pencegahan,” ujar Andri dalam sebuah seminar di Jakarta, Senin (18/3).

Selain mencegah terjadinya korupsi dan pencucian uang, lanjut Andri, aturan ini juga dapat memudahkan aparat penegak hukum untuk menelusuri aliran dana yang diduga bagian dari korupsi maupun pencucian uang. Misalnya KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung serta Pusat Perlaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa dengan mudah melacak sumber atau muara uang dari hasil tindak pidana tersebut.

Sebagai pintu masuk, terdapat beberapa regulasi untuk diberlakukannya pembatasan transaksi uang. Salah satunya adalah draf RUU Transaksi Tunai. Namun, dari substansi yang ada, draf ini memerlukan penguatan dan penyempurnaan di dalamnya. Tapi sayangnya, hingga kini ILR belum bisa memutuskan berapa besaran uang tunai yang dibatasi.

“Hal itu masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Kami berharap Bank Indonesia (BI), PPATK dan Kementerian Keuangan dapat menyempurnakan draf RUU Transaksi Tunai dan mengusulkan ke DPR,” katanya.

Hal senada diutarakan oleh Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (PUKAU) Indonesia. Menurut Ketua PUKAU Yunus Husein, salah satu kelemahan dari sistem keuangan terkait tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah adanya transaksi yang menggunakan cara tunai. Dia berpendapat, selama ini penanganan dalam kasus pencucian uang dan korupsi menggunakan cara follow the money.

Ia mencontohkan kasus dugaan suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam kasus itu digunakan uang tunai sebagai suap yang dimasukkan ke dalam sebuah kardus bergambar durian.

Dalam kasus suap tunai seperti ini, PPATK dan aparat penegak hukum akan kesulitan apabila menyangkut sistem aliran dana, kecuali adanya pengakuan dari salah satu pelaku. “Ini kelemahan dari sistem anti pencucian uang. Transaksi tunai persulit penegak hukum dalam hal melakukan asset tracing,” ujar mantan Kepala PPATK ini.

Ia tak sependapat apabila pembatasan transaksi tunai ini dikatakan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Yunus, hak asasi merupakan hak yang diperoleh sejak lahir, bukanlah hak yang diberikan oleh negara. Di Perancis, misalnya. Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia ini telah menerapkan pembatasan transaksi tunai.

Atas dasar itu, aturan ini akan lebih ideal apabila dimasukkan ke dalam sebuah UU karena lebih komprehensif, baik dengan membuat UU yang baru atau merevisi UU yang sudah ada. “Kalau ingin batasi hak-hak warga negara harus diatur dalam UU, karena UU produknya DPR yang merupakan implementasi dari wakil rakyat,” ujar Yunus.

Selain Perancis, lanjut Yunus, negara lain yang telah mengadopsi aturan ini adalah Italia, Argentina, Rusia, Yunani, Belgia, Meksiko dan Armenia. Untuk Indonesia, kata Yunus, diperlukan pendalaman lagi supaya dapat diketahui nilai yang ideal. Namun, ia lebih setuju apabila besaran tunai yang dibatasi Rp100 juta. Angka ini lebih besar ketimbang Perancis Rp15 juta, Italia Rp10 juta dan Argentina Rp2,5 juta.

Direktur Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran BI, Boedi Armanto, sepakat adanya pembatasan transaksi tunai. Namun, sebelum aturan itu dijalankan diperlukan beberapa pendalaman seperti dukungan infrastruktur terkait dengan perbankan.

“Kondisi infrastruktur sistem pembayaran non tunai saat ini belum merata, misal Anjungan Tunai Mandiri (ATM), di Jakarta saja komposisinya baru 25,2 persen,” ujar Boedi.

Menurutnya, rencana pembatasan transaksi tunai ini sejalan dengan yang sedang disusun BI, yakni diterapkannya branchless banking yaitu terdapatnya beberapa program bahwa non tunai dipakai sebagai alat pembayaran. Meski arahnya masih di sekitar retail, tapi BI mengharapkan program pembayaran non cash ini dinikmati masyarakat Indonesia.

Ia mengingatkan, bahwa terdapat pengaturan mengenai uang tunai di sejumlah UU lain. Atas dasar itu, Boedi berharap dalam penyusunan aturan mengenai pembatasan transaksi tunai tak menabrak dengan klausul tunai di UU lain. Soalnya, di UU lain juga terdapat aturan yang membahas mengenai transaksi tunai.

Misalnya, Pasal 23 jo. Pasal 33 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah untuk transaksi keuangan lainnya di Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keasilan rupiah tersebut.

Untuk pasal ini juga terdapat ancaman pidana denda dan penjaranya apabila dilanggar. Selain itu, Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 37 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Dalam aturan itu disebutkan kewajiban bagi penerima untuk mengambil dana hasil transfer dalam bentuk tunai.

Tags: