Pembatasan Akses Medsos Upaya Alternatif Seiring dengan Tingkat Kegentingan
Berita

Pembatasan Akses Medsos Upaya Alternatif Seiring dengan Tingkat Kegentingan

Banyak negara lain melakukan pembatasan dan penutupan dengan berbagai pertimbangan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Menkominfo Rudiantara. Foto: RES
Menkominfo Rudiantara. Foto: RES

Pemerintah berdalih pembatasan penggunaan media sosial yang diberlakukan beberapa waktu lalu sebagai upaya mengurangi dampak hoaks dan ujaran kebencian, yang belakangan ini masif disebarluaskan melalui platform media sosial dan percakapan instan. Pemerintah berupaya meminimalisasi dan menghindarkan konflik sebagai akibat tindakan kekerasan yang dipicu oleh informasi hoaks.

 

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pihaknya mengambil tiga langkah untuk menjaga media sosial dan dunia maya Indonesia agar tetap damai. Menurutnya, hoaks yang tidak dikendalikan akan berpotensi memicu aksi massa dan kekerasan yang berdampak pada jatuhnya korban. 

 

"Satu hoaks saja sudah cukup untuk memicu aksi massa yang berujung penghilangan nyawa, seperti salah satunya yang menimpa Mohammad Azam di India pada tahun 2018. Padahal, ada banyak hoaks sejenis itu lalu-lalang di Indonesia setiap hari, apalagi sekitar 22 Mei lalu," ujar Rudiantara seperti dikutip dari siaran pers Kemenkominfo, Senin (27/5).

 

Rudiantara menyebut ada tiga langkah yang diambil pemerintah berdasarkan tingkat kegentingan peredaran konten hoaks. Langkah itu lazim dan kerap diambil oleh Pemerintah di negara lain untuk mencegah meluasnya kerusuhan. Langkah pertama adalah menutup akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks. Kedua, bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun. Dan ketiga, pembatasan akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file.

 

"Pembatasan akses merupakan salah satu dari alternatif-alternatif terakhir yang ditempuh seiring dengan tingkat kegentingan. Pemerintah negara-negara lain di dunia telah membuktikan efektivitasnya untuk mencegah meluasnya kerusuhan," jelas Rudiantara.

 

Rudiantara mencontohkan bagaimana Srilanka menutup akses ke Facebook dan WhatsApp untuk meredam dampak serangan bom gereja dan serangan anti-muslim yang mengikutinya. Sementara, Iran pernah menutup akses Facebook pada tahun 2009 setelah pengumuman kemenangan Presiden Ahmadinejad.

 

"Banyak negara lain melakukan pembatasan dan penutupan dengan berbagai pertimbangan," ujar Rudiantara.

 

Sekadar catatan, sebelum dan selama pembatasan akses sebagian fitur platform media sosial dan percakapan instan berupa fitur image dan video, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menutup ribuan akun media sosial dan situs web. Sebanyak 551 akun facebook telah diblokir. Kemudian akun twitter 848 akun, Instagram 640 akun, Youtube 143 akun, serta masing-masing 1 untuk url website dan LinkedIn. Total ada 2184 akun dan website yang telah diblokir. Tindakan itu dilakukan Kementerian Kominfo bekerja sama dengan penyedia platform digital.

 

(Baca: Pembatasan Akses Medsos Dinilai Langgar Hak Publik)

 

"Itu juga ditempuh. Misalnya, saya telah berkomunikasi dengan pimpinan WhatsApp, yang hanya dalam seminggu sebelum kerusuhan 22 Mei lalu telah menutup sekitar 61.000 akun aplikasi WhatsApp yang melanggar aturan," jelas Rudiantara.

 

Menurut Rudiantara semua itu perlu dilakukan agar sebaran konten hoaks, fitnah maupun provokasi dapat diminimalkan. Bahkan, Menteri Kominfo mengajak semua kalangan untuk memulai dari diri sendiri agar tidak menyebarkan konten yang melanggar aturan atau hukum. 

 

"Jangan lelah untuk mengimbau agar masyarakat dan teman-teman di sekitar kita berhenti menyebarkan konten yang mengandung hoaks, fitnah, maupun provokasi untuk melanggar aturan atau hukum. Tentu saja harus kita mulai dari diri sendiri," ucap Rudiantara.

 

(Baca: Batasi Akses Media Sosial, Pemerintah Harus Punya Protokol yang Jelas)

 

Seperti diketahui, pada 22 Mei pemerintah melakukan pembatasan sementara dan bertahap sebagian akses platform media sosial dan pesan instan. Hal itu ditujukan untuk membatasi penyebaran atau viralnya informasi hoaks yang berkaitan dengan Aksi Unjuk Rasa Damai berkaitan dengan pengumuman hasil Pemilihan Umum Serentak 2019.

 

Dalam Konferensi Pers di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan di Jakarta, Rabu (22/5), Menteri Kominfo menjelaskan bagaimana konten negatif dan hoaks diviralkan melalui pesan instan. "Kita tahu modusnya dalam posting (konten negatif dan hoaks) di media sosial. Di facebook, di instagram dalam bentuk video, meme atau gambar. Kemudian di-screen capture dan diviralkan bukan di media sosial tapi di messaging system WhatsApp," jelasnya.

 

Konsekuensi pembatasan itu, menurut Menteri Rudiantara akan terjadi pelambatan akses, terutama untuk unggah dan unduh konten gambar dan video. "Kita semua akan mengalami pelambatan akses download atau upload video," jelasnya.

 

Menteri Kominfo menegaskan pembatasan itu ditujukan untuk menghindari dampak negatif dari penyebarluasan konten dan pesan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan dan berisi provokasi. "Kenapa karena viralnya yang dibatasi. Viralnya itu yang negatif. Banyak mudharatnya ada di sana," tandasnya.

 

Namun, langkah pemerintah itu mengundang reaksi dari masyarakat. Salah satunya datang dari Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, mengatakan meski kebijakan itu bertujuan baik, tapi pemerintah harus tetap transparan dalam mengeluarkan kebijakan tersebut.

 

Menurut Sudaryatmo, pemerintah harus memiliki protokol yang jelas ketika memilih untuk melakukan pembatasan akses terhadap media sosial. Protokol tersebut diperlukan agar kebijakan yang dilakukan pemerintah dapat terukur.

 

“Saya terus terang tidak tahu apakah pemerintah sudah punya protokol ketika ada pembatasan itu. Step-step yang dilakukan seperti apa. Sehingga apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Kominfo itu memang terukur. Step-stepnya jelas, alasannya jelas,” tambahnya.

 

Di sisi lain, seyogyanya pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap sektor-sektor lain seperti e-commerce, misalnya. Sudaryatmo lalu mempertanyakan apakah langkah yang diambil pemerintah kali ini sudah efektif dengan tetap mempertimbangkan fungsi-fungsi positif lainnya dari penggunaan media sosial.

 

Tags:

Berita Terkait