Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 yang menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dinilai memberi angin segar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Selama ini norma ‘pasal karet’ menciptakan ketidakpastian hukum. Putusan yang dibacakan Kamis (21/3/2024) itu mendapat respon positif dari kalangan masyarakat sipil.
Pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan dengan dicabutnya kedua pasal itu berdampak positif bagi demokrasi di Indonesia. Dia menilai, ketika dua pasal itu belum dicabut, amatlah merugikan setiap individu bahkan mengganggu jalannya sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perkara pidana perlu sistem pembuktian yang ketat terhadap unsur-unsur pasal yang dilanggar untuk menjamin kepastian hukum. Pasal pidana itu harus jelas kriterianya baik dalam UU No.1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam konteks penyebaran berita bohong atau hoaks, sebagai peristiwa pidana termasuk dalam UU ITE selain harus dibuktikan ada kerugian pribadi pun harus dirumuskan adanya kerugian yang bisa menjadi kerugian kepentingan umum. Tapi jika hanya disampaikan secara pribadi misalnya, melalui aplikasi perpesanan, tidak ada kerugian kepentingan umum. Mengingat hanya merugikan secara pribadi, maka tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana. Tapi bagi pihak yang merasa dirugikan, bisa menggugat secara perdata melalui perbuatan melawan hukum (PMH).
Baca juga:
- Alasan MK Batalkan Pasal Penyebaran Berita Bohong dalam KUHP
- Dakwaan Jaksa Tak Terbukti, Haris-Fatia Divonis Bebas
Mengenai publikasi berita bohong melalui ITE, Fickar berpendapat yang perlu dicermati apakah muncul dalam bentuk berita atau yang bersangkutan mengajukan dirinya sendiri agar dipublikasi. Jika konteksnya wawancara dan menjawab pertanyaan, tidak bisa dikategorikan sebagai penyebaran berita bohong dan harus dibebaskan dari tuduhan.
“Putusan MK ini jelas ke arah perlindungan atas kepentingan umum. Sehingga tidak ada ketentuan pasal pidana yang karet, multi tafsir dan tidak berkepastian hukum,” ujarnya, Senin (25/3/2024).