Pembaruan Tax Treaty Demi Kepastian Hukum dan Investasi
Berita

Pembaruan Tax Treaty Demi Kepastian Hukum dan Investasi

Ada perlakuan yang sama antara pelaku usaha (khususnya Singapura yang sudah memperbarui P3B), dengan pelaku usaha di Indonesia. Ini akan mendorong pelaku usaha dari luar (khusus Singapura) untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pemerintah akhirnya melakukan revisi perjanjian pajak (tax treaty) terkait Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara tetangga, Singapura. Beberapa aspek dilakukan pembaruan adalah menyoal dividen, capital gains, dan anti penghindaran pajak.

 

Menurut Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rofyanto Kurniawan, pembaruan tax treaty merupakan upaya untuk mencari win-win solution antar kedua negara sehingga saling menguntungkan. Utamanya, langkah ini dilakukan untuk menghilangkan hambatan investasi antar negara.

 

“Pembaruan P3B ini tujuannya menghilangkan hambatan investasi antar negara. Adanya tarif diskon terhadap dividen dan royalti misalnya. Dan memang negosiasi ini disesuaikan dengan dinamika ekonomi dan standar perpajakan internasional,” kata Rofyanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (7/2).

 

Rofyanto menegaskan bahwa pembaruan P3B ini sekaligus menyerahkan aturan perpajakan kepada masing-masing negara atau sesuai regulasi domestik. Misalnya, jika transaksi dilakukan di Indonesia maka pengenaan pajak disesuaikan dengan regulasi dalam negeri, dan dinilai dari jumlah properti Wajib Pajak (WP). Sementara itu terkait obligasi, Rofyanto mengatakan bahwa hal ini diatur secara umum dengan tarif pajak sebesar 10 persen yang dipotong dengan pajak di luar negeri.

 

“Kalau properti-nya lebih besar di Indonesia, maka berlaku regulasi pajak di Indonesia, dan sebaliknya,” imbuhnya.

 

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP), John Hutagaol, menerangkan bahwa tax treaty memberikan insentif baik dari sisi moneter maupun non moneter. Dari sisi moneter, pemerintah menyediakan insentif berupa penurunan tarif, insentif capital gains, dan sebagainya. Sementara dari sisi non moneter, kebijakan P3B ini memberikan kepastian hukum kepada dunia usaha dan investasi.

 

(Baca: Pembaruan Pajak Indonesia-Singapura, Ini Isinya)

 

Dalam konteks kepastian hukum, Hutagaol menyebut bahwa ada perlakuan yang sama antara pelaku usaha khususnya Singapura yang sudah memperbaharui P3B, dengan pelaku usaha di Indonesia. Hal ini, lanjutnya, jelas akan mendorong pelaku usaha dari luar (khusus Singapura) untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia.

 

“Secara non moneter, ini memberikan kepastian hukum yang sama antara pelaku usaha Singapura dan Indonesia. Ini nanti yang akan mendorong pelaku usaha Singapura untuk masuk ke dalam negeri,” katanya pada acara yang sama.

 

Melalui revisi P3B ini, Hutagaol mengatakan investasi langsung berpeluang masuk ke Indonesia sehingga dapat menutupi penerimaan yang mungkin hilang dari pemberian insentif.

 

“Itu nanti akan ada penerimaan yang besar dari masuknya investasi, P3B ini akan merangsang investasi. Yang biasanya masuk ke bursa, ini diharapkan masuk ke investasi langsung dengan keringanan pajak tersebut,” tambahnya.

 

John mengingatkan bahwa ada perlakuan yang berbeda antara perusahaan terbuka dan tertutup. Untuk perusahaan terbuka (Tbk) yang melakukan transaksi di bursa efek Indonesia, maka akan dikenakan pajak sebesar 0,1 persen. Sementara jika perusahaan bersifat tertutup maka pemajakan akan dikenakan di Singapura.

 

Namun kebijakan pajak tersebut bukan tanpa syarat, khususnya untuk perusahaan tertutup. Insentif akan berlaku dengan mempertimbangkan jumlah properti yang dimiliki oleh perusahaan. Jika perusahaan tertutup memiliki aset atau benda yang tidak bergerak di Indonesia melebihi 50 persen dari aset perusahaan, maka regulasi yang berlaku adalah regulasi dalam negeri yang akan dikenakan pajak sebesar 0,1 persen.

 

Dan yang perlu diingat adalah pembaruan P3B ini tidak menutup kemungkinkan terjadinya kecurangan atau treaty shooping. Treaty shooping adalah pelaku usaha yang mengaku Wajib Pajak Singapura demi mendapatkan insentif di Indonesia.

 

Untuk mengatasi hal tersebut, DJP sudah menyiapkan tiga tes untuk mencari tahu apakah pelaku usaha tersebut adalah benar WP Singapura yakni Principal Purpose Test, Benefecial Owner Test, dan lewat mekanisme yang diatur dalam Perdirjen No.25 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

 

“Itu namanya treaty shooping. Melalui tiga tes itu pelaku usaha berhak meyakinkan DJP bahwa mereka benar WP dari Singapura,” ungkapnya.

 

Tax Researcher DDTC, B. Bawono Kristiaji berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga alasan pentingnya melakukan negosiasi ulang P3B. Pertama, persoalan ekonomi. Saat ini, sektor ekonomi sudah jauh berkembang jika dibandingkan dengan 28 tahun lalu, saat Indonesia meneken P3B bersama Singapura. Kedua, di masa lalu hak pemajakan dinilai tidak terlalu adil bagi kedua belah pihak, dan ketiga P3B menjadi instrumen untuk menstimulus ekonomi.

 

Menurut Bawono, jika P3B tidak diperbarui maka P3B tidak bisa berperan penting dalam upaya pemerintah untuk menstimulus ekonomi dan investai yang saat ini yang tengah dibahas oleh pemerintah lewat RUU Omnibus Law.

 

“Renegosiasi P3B bertujuan untuk menyelaraskan rezim relaksasi fiskal di Indonesia. Dengan demikian, P3B memiliki peran penting untuk menstimulus investasi. Dan yang terpenting, ada komitmen transparansi dari penghindaran pajak juga dalam renegosiasi P3B itu,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait