Pembangunan Infrastruktur Gas Terkendala Aturan
Berita

Pembangunan Infrastruktur Gas Terkendala Aturan

Pemerintah perlu membenahi tata kelola migas nasional untuk mempercepat pembangunan infrastruktur gas.

KAR
Bacaan 2 Menit
Gedung Kementerian ESDM. Foto: Sgp
Gedung Kementerian ESDM. Foto: Sgp

[Versi Bahasa Inggris]

Telah lama pemerintah menggembar-gemborkan pengalihan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) terhadap gas bumi. Penggunaan gas bumi untuk bahan bakar tidak hanya diproyeksikan untuk sektor industri dan transportasi saja. Pemerintah juga merencanakan akan menyentuh kalangan rumah tangga dan kawasan perumahan.

Sayang, sejak program konversi minyak tanah ke lpg tahun 2007 lalu, program konversi bahan bakar minyak ke gas bumi jalan di tempat. Bahkan, proyek pipa gas molor hingga kini.

“Kita akan segera membenahi tata kelola minyak dan gas bumi nasional demi mempercepat proyek sejumlah pipa gas yang selama ini molor. Kita yakin, rampungnya proyek pipa akan menyukseskan upaya konversi BBM ke gas bumi,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Naryanto Wagimin, di Jakarta, Jumat (7/11).

Proyek pipa yang molor dari target penyelesaian antara lain Proyek Kalimantan-Jawa (Kalija) I. Tahun 2006, proyek itu digarap PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Kemudian, setelah 80 persen saham Kalija I diakusisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan kini mulai dilanjutkan kembali. Biaya untuk membangun pipa sepanjang 207 KM itu menelan biaya investasi mencapai AS$ 200 juta.

Sebelumnya, untuk menjamin bisnis pipanya manajemen PGN pun meminta Pemerintah memberikan insentif kepada pelaku industri yang diketahui merupakan konsumen gas. Dengan harga jual gas perseroan di kisaran AS$ 10 per million metric british thermal unit (mmbtu) setelah menimbang angka keekonomian, PGN pesimistis pelaku industri bisa menyerap gas bumi yang dijual.

"Ada baiknya pemerintah dapat mengubah paradigmanya dengan tidak lagi menjadikan gas bumi sebagai mainly income. Kalau tidak begitu, industri kita bisa kalah dengan negara-negara Asean seperti Malaysia yang menjual harga gasnya di kisaran AS$ 4 per mmbtu," tuturnya.

Lebih lanjut, Naryanto mengatakan bahwa pada prinsipnya ada dua kendala di sektor infrastruktur gas. Ia memaparkan, kendala itu ialah susah mendapat sumber gas dan mencari siapa pembelinya. Ia menegaskan, pihaknya akan segera  selesaikan ini demi mensukseskan program konversi.

Untuk mengatasi dua kendala pembangunan infrastruktur gas itu, Naryanto mengaku sudah memiliki solusi. Ia menyebut, pihaknya akan mempertemukan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), perusahaan pipa gas dan pelaku industri yang menjadi konsumen. Pertemuan itu menurut Naryanto, akan membahas kepastian pasokan serta menjamin bisnis perusahaan pipa gas dan juga industri.

"Kalau untuk problem pendanaan pipa itu urusan mereka. Saya akui ini juga menjadi masalah tersendiri," tambahnya.

Direktur Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyayangkan kampanye konversi BBM ke gas yang digalakkan pemerintah selama sepuluh tahun ini tak maksimal. Ia melihat, cadangan gas yang berlimpah di negeri ini belum dimanfaatkan dengan baik karena masih minimnya pembangunan infrastruktur gas.

Padahal, Indonesia memiliki cadangan gas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan industri dan transportasi.  Sehingga dri sisi ketersediaan gas, bisa dipastikan tidak ada kendala yang berarti.

Masalah utamanya, menurut Pri Agung adalah kebijakan yang tak jelas. "Eksekusi dari kebijakan yang tidak jelas itu menjadi penghambat kesuksesan program tersebut. Ditambah lagi dengan infrastruktur yang belum siap," ujarnya.

Ia yakin, ketersediaan infrastruktur gas merupakan faktor penting untuk mendukung pertumbuhan industri. Dua jenis infrastruktur yang paling urgen menurut di mata Pri Agung adalah jaringan pipa dan stasiun pengisian bahan bakar gas untuk kendaraan bermotor. Untuk mempercepat pembangunan dua bentuk infrastruktur itu membutuhkan aturan yang jelas.

"Industri otomatis tumbuh, sekarang tinggal bagaimana infrastruktur dibangun. Aturannya  harus jelas, siapa yang membangun infrastrukturnya dan siapa yang memasok gas. Aturan ini harus diciptakan agar infrastruktur  bisa berkembang," pungkas Pri Agung.

Tags:

Berita Terkait