Pembangunan Infrastruktur Dinilai Hanya Memfasilitasi Investor
Berita

Pembangunan Infrastruktur Dinilai Hanya Memfasilitasi Investor

ACFTA hanya kebijakan yang memandang negara sebagai negara konsumen bukan sebagai negara produsen.

M-7
Bacaan 2 Menit
Pembangunan Infrastruktur Dinilai Hanya Memfasilitasi Investor
Hukumonline

Pemerintah nampaknya harus kerja keras meyakinkan para stakeholders yang diprediksi terkena dampak Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Untuk kesekian kalinya Menteri Perekonomian Hatta Rajasa menghimbau masyarakat tidak terlalu khawatir dengan diberlakukannya ACFTA.

 

Namun, masih banyak kalangan yang tidak siap dengan diberlakukannya ACFTA. Salah satunya desakan agar Indonesia menunda pelaksanaan ACFTA. Bahkan ada yang menginginkan agar Indonesia keluar dari World Trade Organization (WTO).

 

Sekolompok organisasi yang tergabung dalam Front Oposisi Rakyat (FOR)-Indonesia menilai, kebijakan yang diambil pemerintah ini suatu kelanjutan dari proses liberalisasi. Pemerintah juga dituding menginginkan Indonesia sebagai negara kapitalis. Indonesia dinilai hanya menjadi saluran kelebihan modal dari luar negeri dengan sistem melalui investasi asing dan hanya mendapatkan sedikit nilai tambahnya.

 

Dalam konferensi pers  Senin (25/1) lalu, FOR-Indonesia mempertanyakan keputusan Indonesia masuk dalam perdagangan bebas. Apakah keputusan itu memiliki kontribusi langsung pada kemakmuran masyarakat atau malah sebaliknya. “Kalau di sektor pedesaan, saya kira FTA bukan suatu jawaban dari masalah yang dihadapkan kaum tani,” ungkap Idham Arsyad Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA).

 

Idham beralasan saat ini banyak orang Indonesia yang tidak memiliki tanah. Di sektor pedesaan, ada sekitar 13,7 juta kepala keluarga yang kepemilikan tanahnya hanya 0,3 hektar. Apalagi perjanjian ini tidak melibatkan kepentingan petani, dan secara nasional hanya membawa negara kita menjadi pasar.

 

Selain itu, lanjut Idham, ACFTA hanya kebijakan yang memandang negara Indonesia sebagai negara konsumenbukan sebagai negara produsen. “Padahal, kalau saja pemerintah memberikan perhatian utama bagi petani, hal ini bisa menjadi topangan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi kita,” imbuhnya. Dengan kata lain pemberlakuan ACFTA menurut FOR-Indonesia tidak ada untungnya bagi Indonesia.

 

Pembangunan Infrastruktur

Berbeda dengan Hatta Rajasa, menurutnya salah satu dampak positif  dari pemberlakuan ACFTA adalah pembangunan infrastruktur. Seperti diketahui, salah satu masalah terbesar di republik ini adalah infrastruktur yang tak karuan. Jeleknya infrastruktur pun mengakibatkan biaya produksi yang dikeluarkan industri-industri sangat mahal.

 

Salah satu upaya pemerintah terkait pembangunan infrastruktur adalah melakukan kerja sama dengan Jepang dalam pembangunan enam kawasan ekonomi koridor. Yaitu di kawasan Sumatera Timur, Pantai Utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), serta Papua .

 

Perbaikan infrastruktur ini dilakukan dengan cara Public Private Partnership, yaitu pola kerja sama yang dilakukan pemerintah dengan swasta. Selain itu, pemerintah juga telah merevisi Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Perpres ini memberikan kemudahan bagi investor untuk masuk sebagai peserta tender.

 

Namun, Idham tidak sepakat dengan Hatta. “Kalau soal infrastruktur jelek, saya sepakat, tapi apakah infrastruktur yang saat ini menjadi perhatian rezim SBY berkepentingan langsung kepada buruh serta petani, ini jadi pertanyaan,” paparnya.

 

Idham melanjutkan, dalam National Summit yang diadakan pemerintah beberapa waktu lalu, pembangunan infrastruktur adalah negosiasi pembangunan jalan tol. “Namun, infrastruktur yang berhubungan langsung terhadap petani misalnya bagaimana supaya biaya yang dikeluarkan petani lebih murah tidak menjadi perhatian utama.”

 

Hal senada diungkapkan Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisis Perempuan Indonesia. Menurut Dian, pengembangan infrastruktur lebih kepada menyiapkan kebutuhan investasi. Perbaikan pelabuhan juga dinilai hanya untuk memenuhi kepentingan investor, tidak pada kebutuhan rakyat.

 

Amelia Pulungan dari Aliansi Petani Indonesia mencontohkan rencana infrastruktur di Kalimantan. Hampir seluruh jalan yang dibangun memfasilitasi perkebunan besar kelapa sawit dan batu bara. “Tidak ada hubungannya dengan bagaimana memobilisasikan sumber daya didalamnya, ini hanya untuk memfasilitasi investasi bukan untuk rakyat.”


Giliran Hatta yang membantah pernyataan tersebut. Menurutnya, Usaha Kecil Menengah (UKM) juga menjadi perhatian utama. Terkait infrastruktur, Hatta menjelaskan saat ini pemerintah bahkan melakukan program debotottlenecking. Selain itu, dalam program 100 hari, Menteri Pekerjaan Umum (PU) sudah menyelesaikan pembangunan 695 kilometer jalan yang diperkuat di wilayah Sumatera dan Sulawesi. “Pembangunan ini merupakan salah satu kinerja yang telah dilakukan Menteri PU, dengan target pembangunan 19 ribu kilometer jalan selama lima tahun di seluruh tanah air,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait