Pembahasan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Krusial
Utama

Pembahasan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Krusial

Dalam kurun 2002-2008, laju konversi lahan pertanian di seluruh Indonesia mencapai 110 ribu hektare per tahun.

Mys/Rfq
Bacaan 2 Menit

 

Tidak mengherankan kalau Ketua Badan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Siswono Yudohusodo pernah memprediksi, Pulau Jawa tidak bisa lagi dipertahankan sebagai lumbung pangan nasional 30-50 tahun mendatang. Pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan lahan pertanian. Jumlah penduduk yang banyak, membutuhkan lahan yang banyak pula, kata Suprahtomo, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Departemen Pertanian.

 

Untuk mengantisipasi dampak negatif alih fungsi lahan pertanian itu, DPR mengajukan usul inisiatif RUU Perlindungan Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan (RUU PLPPB). Departemen Pertanian dan DPR terus memelototi satu persatu Daftar Isian Masalah (DIM) RUU tersebut. Ketika dihubungi beberapa waktu, Direktur Pengelolaan Lahan Departemen Pertanian, Suhartanto, mengatakan bahwa pembahasan RUU sudah memasuki tahap krusial. Rapat Paripurna DPR April lalu menerima RUU ini sebagai usul inisiatif.

 

Suhartanto tak menguraikan secara detail apa saja DIM yang krusial menurut Departemen Pertanian. Ia hanya memberi isyarat bahwa separuh DIM sudah selesai dibahas di Panitia Kerja DPR. Sekarang memasuki masalah yang krusial, yakni masalah pengendalian alih fungsi lahan, ujarnya.

 

Di mata Suhartanto, ruh RUU PLPPB terletak pada pengendalian alih fungsi lahan itu. Departemen Pertanian sendiri sejauh ini sudah membuat Pedoman Teknis Pengelolaan Lahan 2009. Materi RUU ini juga akan berkaitan dengan kebijakan mengenai lahan yang sudah diambil Pemerintah. Misalnya Perpres No. 89 Tahun 2007 tentang Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

 

Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memang sudah mengamanatkan pentingnya mempertahankan kawasan lahan abadi pertanian untuk ketahanan pangan. Tetapi yang paling mengkhawatirkan wakil rakyat adalah laju konversi lahan yang sulit terkendali. Langkah yang bisa dilakukan adalah memperluas lahan pertanian, atau setidaknya mempertahankan lahan pertanian yang ada. Pilihan lain, kata Bomer Pasaribu, anggota Panja RUU ini, adalah peningkatan volume impor.

 

Konversi lahan pertanian tidak seluruhnya dosa petani. Bomer malah menengarai alih fungsi sering diakibatkan perubahan kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Misalnya, perubahan suatu kawasan pertanian menjadi lahan pemukiman seiring dengan revisi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR).

 

RUU PLPPB –disebut juga RUU Lahan Pertanian Abadi-- akan menetapkan kawasan mana saja yang bakal dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di setiap wilayah. Jadi, akan ada lahan pertanian yang dilindungi secara hukum dan prinsipnya dilarang dikonversi menjadi lahan non pertanian. Pengecualian alih fungsi hanya dapat dibenarkan untuk kepentingan umum atau alasan lain yang dibenarkan Undang-Undang. Jika suatu lahan pertanian dikonversi, RUU ini kelak akan mengatur pula kewajiban mendapatkan lahan pengganti di tempat lain.

 

Konsepnya, jika suatu lahan pertanian sudah dinyatakan dilindungi maka izin pengalihfungsiannya harus diperoleh dari pemerintah. Tentu saja, dalam praktik hal ini tidak mudah mengingat pengalihan lahan sering terjadi antara pembeli dengan pemilik lahan secara langsung tanpa diketahui oleh pemerintah. Transaksi jual beli lahan akan sulit dipantau. Cuma, RUU ini memberikan ancaman saksi kepada pihak-pihak yang mengalihfungsikan lahan pertanian ke nonpertanian tanpa memenuhi prosedur perizinan yang diatur.

Tags: