Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat Tergantung Pemerintah
Berita

Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat Tergantung Pemerintah

Pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat hanya membutuhkan komitmen dan keseriusan pemerintah dan DPR.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat masih terus dirumuskan Badan Legislasi (Baleg) DPR, tetapi belum dilakukan pembahasan. Sebab, hingga saat ini, perwakilan pemerintah belum mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Karena itu, Baleg meminta pemerintah segera mengirimkan DIM RUU Masyarakat Hukum Adat ini agar bisa dibahas bersama.   

 

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Masyarakat Hukum Adat, Arif Wibowo mengatakan Baleg terus mendorong pemerintah agar segera menyerahkan DIM RUU tersebut ke DPR. Sebab, dengan adanya DIM, pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat dapat dilakukan bersama antara DPR dan pemerintah.

 

“Baleg terus menyerap aspirasi ke daerah dalam rangka mematangkan rumusan draf RUU Masyarakat Hukum Adat ini,” ujar Arif Wibowo yang juga Wakil Ketua Baleg DPR itu kepada Hukumonline, Senin (17/12/2018).

 

Dia mengingatkan jangka waktu pembahasan RUU tersebut hingga 30 September 2019, sehingga pembahasan RUU ini masih menyisakan kurang lebih 9 bulan. “Prinsipnya, Baleg akan terus mendorong pemerintah untuk segera mengirimkan DIM ke DPR,” ujar Arif.

 

Padahal menurut Arif, substansi RUU Masyarakat Hukum Adat tidak banyak isu krusial. Isu krusial yang perlu mendapat perhatian khusus hanya pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan, evaluasi masyarakat hukum adat. Terhadap masyarakat hukum adat yang sudah tidak hidup di masyarakat bakal menjadi evaluasi keberadaan

 

Hal tersebut merujuk Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

 

Arif  melanjutkan sebagian besar substansi RUU Masyarakat Hukum Adat tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Namun, Arif enggan menyebutkan peraturan yang dimaksud. Dia menegaskan RUU tersebut hanya membutuhkan komitmen dan keseriusan pemerintah dan DPR. “Hanya butuh fokus dan serius saja dari kedua belah pihak, DPR dan Pemerintah,” harapnya.

 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolingi menilai lambannya pembahasan RUU tersebut karena pemerintah lamban menyerahkan DIM. “Permasalahan berada di pemerintah.Tanpa adanya DIM, tidak ada bahan yang digunakan untuk pembahasan,” ujarnya.

 

Dia mengingatkan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2018 dan masuk dalam Prolegnas 2019. Pembahasan di tingkat Baleg dengan meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan sudah berjalan. Bahkan sebelumnya telah terbit Surpres Nomor R-19/Pres/04/2018 tertanggal 18 April 2018. Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus pada 2 Juli 2018 dan RUU sudah mulai dibahas di tingkat Baleg.

 

Menurutnya, di internal pemerintah tidak solid. Padahal, Presiden Jokowi telah menyatakan bakal menerbitkan Surpres ke 6 menteri. Yakni Kemendagri, Kemenkumham, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria  dan Tata Ruang, Kementerian Kelautan Perikanan, dan Kementerian Desa. “Tapi sampai detik ini DIM belum diterima oleh DPR. Kementerian membangkang perintah Presiden,” tudingnya.

 

Lebih lanjut Rukka mengatakan dalam rapat kerja DPR dengan pemerintah, kedua belah pihak bersepakat bakal mengesahkan dalam dua kali masa sidang yang bakal berakhir di awal tahun 2019. Namun sayangnya dengan belum adanya DIM, nasib RUU tersebut bakal terancam mandeg. Apalagi di tahun politik, anggota dewan yang mencalonkan kembali menjadi anggoa dewan bakal sibuk mengamankan kursinya di parlemen.  

 

Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, Wahyu Nugroho menilai pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat mesti mengakomodir beberapa hasil temuan dan masukan para tokoh masyarakat, adat, kepala daerah, AMAN terutama merumuskan subjek hukum masyarakat hukum adat itu sendiri.

 

Menurutnya pengakuan subjek hukum masyarakat hukum adat masih belum merata di seluruh Indonesia. Apalagi persoalan objek berupa tanah hak ulayat yang membutuhkan pengakuan negara. Selama ini pengaturan masyarakat hukum adat hanya merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Peraturan Daerah.

 

“Sementara yang dibutuhkan masyarakat adalah aturan setingkat UU,” kata dia.

 

Dia mencontohkan selama ini konflik agraria yang sebagian objeknya adalah tanah ulayat atau komunal dalam bahasa Permen Agraria No.10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

 

“Masyarakat hukum adat merupakan bagian dari living law yang perlu ditransformasikan ke dalam pembentukan hukum, sehingga keadilan dan kemanfaatan dapat dirasakan subjek masyarakat hukum adat itu sendiri,” kata anggota divisi advokasi Asosiasi Pengajar Hukum Adat ini.

Tags:

Berita Terkait