Pembahasan RUU IKN Dinilai Tidak Memenuhi Apa yang Digariskan MK
Utama

Pembahasan RUU IKN Dinilai Tidak Memenuhi Apa yang Digariskan MK

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti memandang pembahasan RUU IKN tidak memenuhi apa yang sebelumnya telah digariskan oleh MK melalui putusan tentang uji materil UU Cipta Kerja.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Kuasa Hukum Pemohon Pengujian UU IKN, Viktor Santoso Tandiasa. Foto: FKF
Kuasa Hukum Pemohon Pengujian UU IKN, Viktor Santoso Tandiasa. Foto: FKF

Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) baru saja menggelar siaran live bertajuk “BAGAIMANA NASIB IKN? BATALKAN UU IKN NO. 3/2022” melalui YouTube dan Zoom, Kamis (16/6/2022). Sebagaimana diketahui sebelumnya PNKN telah mengajukan uji formil UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai cacat formil karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Setelah melalui proses sidang panel dan pleno, kini, pengujian UU IKNI tinggal menunggu pembacaan putusan.  

“Secara fakta hukum seharusnya tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan permohonan ini. Kita tahu memang kesulitan untuk membuktikan dalam pengujian formil adalah mendapatkan dokumen dari pembentuk UU, sehingga biasanya yang saya lakukan membuktikan pembentukannya tidak transparan dengan mengajukan permohonan meminta dokumen kepada lembaga pemerintah,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Pengujian UU IKN, Viktor Santoso Tandiasa.

Ketika dokumen-dokumen tersebut tidak diberikan, menurutnya, secara otomatis bisa katakan tidak transparan. Sebab, seharusnya tanpa diminta sekalipun dokumen terkait No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang telah disahkan sudah disebarluaskan pada laman website kementerian ataupun DPR.

Baca Juga:

Namun dalam proses pembentukan UU IKN dari 28 tahapan hanya 7 yang kemudian dokumennya diunggah pada website DPR. Bahkan misalnya di website Bappenas dan website Kemenkumham dalam proses harmonisasi, banyak yang tidak di-upload di websitenya. “Ketika kita mengajukan permintaan kepada mereka, tidak diberikan. Artinya itu semakin membuktikan.”

Viktor membeberkan selama proses pemeriksaan alat bukti para pihak, DPR tidak menyerahkan satupun alat bukti kepada MK. Pada saat DPR menyampaikan keterangan yang disampaikan dengan indah dan ideal, ia mengatakan satupun tidak dibuktikan dengan alat bukti, bahkan sampai 2 hari sebelum kesimpulan tim kuasa hukum mengajukan inzage (pemeriksaan berkas perkara).

“Jadi bisa dikatakan dalil-dalil keterangan yang dibuat oleh DPR baik itu asas transparansi, keterlibatan publik, dan lain-lain tidak bisa dipegang menjadi dasar karena tidak didukung data-data yang ada. Itu pertama. Kedua, soal proses harmonisasi. Saya menemukan dalam proses inzage itu harmonisasi terhadap UU IKN baik RUU ataupun Naskah Akademik hanya 3 hari. Kita bisa bayangkan untuk mengharmonisasikan UU IKN yang memiliki kaitan begitu banyak dengan UU lain, seperti UU Perpajakan, UU Pemerintah Daerah, UU Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibu Kota NKRI, dan UU lainnya itu, hanya 3 hari.”

Bahkan, Viktor mengaku menemukan bukti undangan yang disampaikan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan harmonisasi mulai dari tanggal 2 Juni 2021 sampai dengan tanggal 4 Juni 2021. “Saya menemukan satu lembar lagi, surat persetujuan hasil harmonisasi itu tanggal 3 Juni. Padahal agendanya dari tanggal 2 sampai tanggal 4. Jadi memang saya pikir secara beberapa hal yang ditemukan, itu sudah menjadi dasar yang kuat bahwa UU IKN itu cacat formil.”

Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti yang menyampaikan kecemasannya terhadap UU IKN, sehingga dirinya telah bersedia memberikan keterangan dalam sidang uji formil UU IKN itu.

“Menurut saya dalam perspektif keyakinan akademik saya, pembahasan RUU IKN itu tidak memenuhi apa yang sudah digariskan oleh MK melalui putusan mengenai uji materiil UU Cipta Kerja terutama amanat partisipasi bermakna (meaningfull participation, red),” ucap Prof Susi.

Hukumonline.com

Guru Besar HTN FH Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti.

Menurutnya, ibu kota negara memiliki makna yang mendalam bagi suatu bangsa dan negara. Oleh karenanya, ketika berhubungan dengan ibu kota negara, maka tidak dapat diputuskan secara terburu-buru. Artinya, urusan ibu kota negara bukan hanya urusan dari seorang presiden atau keputusan Presiden dan DPR yang terlibat dalam pembentukan UU IKN saja, melainkan urusan rakyat yang sepatutnya dilibatkan secara maksimal (partisipasi bermakna) dalam hal ini.

“Bagi saya persoalan ibu kota negara itu bukan hanya sekedar persoalan kewenangan presiden dan DPR, tapi sebetulnya haruslah rakyat secara maksimal itu ikut serta dalam penentuan ibu kota negara. Itulah dua hal utama yang menjadi kegundahan saya, makanya saya bersedia memberikan keterangan ahli.”

Tags:

Berita Terkait