Pembahasan Revisi UU BI Diharapkan Sesegera Mungkin
Berita

Pembahasan Revisi UU BI Diharapkan Sesegera Mungkin

Salah satu alasan revisi karena lahirnya UU OJK.

FAT
Bacaan 2 Menit
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Foto: SGP
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Foto: SGP
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019 telah diketok. Dari 159 RUU yang masuk dalam Prolegnas tersebut, 37 RUU menjadi Prolegnas prioritas tahun 2015. Salah satu RUU yang masuk Prolegnas prioritas adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).

Dari data Badan Legislasi (Baleg) DPR, revisi UU BI tersebut merupakan usul inisiatif dari Komisi XI DPR dan Kementerian Keuangan selaku wakil pemerintah. Masuknya revisi UU BI ke dalam Prolegnas prioritas tahun 2015 ini juga telah sampai ke Bank Sentral tersebut.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengakui, pihaknya telah mendengar rencana revisi UU BI. Hanya saja, ia belum mengetahui substansi apa saja yang akan direvisi dari UU tersebut. “Baru hanya dengar-dengar kabar saja, jadi belum tahu (substansi perubahan, red),” kata Halim kepada hukumonline, di Komplek Parlemen di Jakarta, Rabu (11/2).

Ia mengira, salah satu alasan kenapa direvisi UU BI karena lahirnya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam UU OJK tersebut, fungsi pengawasan dan regulasi industri perbankan berpindah yang selama ini ada di BI, kini beralih ke OJK.

“Oh iya pasti. Dengan adanya UU OJK, UU BI harus diamandemen,” tutur Halim yang menjabag sebagai Deputi Gubernur BI sejak 2010 lalu ini.

BI sadar bahwa seluruh keputusan pembahasan dan substansi RUU berada di tangan pemerintah yakni Kemenkeu dan DPR yang memiliki fungsi legislasi. “BI tidak bisa mengusulkan amandemen UU BI, karena itu harus dari kementerian teknis (Kemenkeu, red),” kata Halim.

Meski begitu, ia berharap, pembahasan revisi UU BI ini dapat dilakukan sesegera mungkin. “Tentu secepatnya kalau bisa. Karena kita belum resmi menerima pemberitahuan ini, tapi nanti kita akan terima secara resmi,” katanya.

Catatan hukumonline, sejak disahkannya UU OJK pada 2011 silam, UU BI belum pernah direvisi sama sekali. Padahal, cikal bakal lahirnya lembaga OJK bermula dari UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI. Hal ini pun diakui Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad saat menjawab gugatan UU OJK ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu.

Dalam Pasal 34 UU tersebut dijelaskan bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan UU. Pembentukan lembaga pengawasan tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.

Atas ketentuan tersebut, DPR bersama pemerintah mulai membahas rancangan UU tentang OJK. Hasilnya, pada akhir Oktober tahun 2011 lalu, RUU OJK disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna di DPR. Pada Pasal 6 UU huruf a OJK disebutkan OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor perbankan.

Pengaturan dan pengawasan kelembagaan bank tersebut meliputi, perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank. OJK juga berwenang melakukan pencabutan izin usaha bank.

Selain itu, OJK juga berwenang mengatur dan mengawasi kegiatan usaha bank, seperti sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi dan aktivitas di bidang jasa. OJK juga berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank serta pemeriksaan terhadap bank.

Dalam Pasal 55 Ayat (2) UU OJK menyebutkan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari BI ke OJK.
Tags:

Berita Terkait