Pembahasan Omnibus Law Dipertanyakan, Bagaimana Keterlibatan Publik?
Berita

Pembahasan Omnibus Law Dipertanyakan, Bagaimana Keterlibatan Publik?

Menerapkan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengambil, kemudahan memutus) yang memudahkan pengusaha dalam melakukan koreksi terhadap para pekerjanya sewaktu-waktu.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Sebagian masyrakat mulai mempertanyakan transparansi pemerintah dalam membahas sejumlah Rancangan Undang-Undang multisektor yang dikenal dengan omnibus law. Hal ini menyusul minimnya pelibatan publik dalam proses penyusunan dan pembahasan keempat RUU omnibus law. Di tengah ambisi pemerintah yang menargetkan rampungnya pembahasan dalam waktu tiga bulan, sejumlah masyarakat sipil mempertanyakan dokumen RUU yang sedang dibahas.

 

“Kehawatiran kami omnibus law menjadi sebuah euforia. Buru-buru bikinnya tiga bulan targetnya kemudian lupa dengan keterlibatan publik,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi kepada Hukumonlineakhir pekan lalu.

 

Menurut Fajri, informasi terkait penyusunan RUU omnibus law sangat minim sampai ke publik. Jika pun ada informasi yang yang bersumber dari pemerintah, hal itu tidak cukup untuk mengetahui lebih jauh substansi pengaturan pasal-pasal yang diambil dari sekitar 82 Undang-Undang sektoral tersebut. Untuk itu ia menyayangkan perkembangan informasi omnibus law yang terkesan “kedap” dari publik.   

 

“Kalau menteri bilang seribu pasal mau dibatalin, pasal yang mana? Jangan-jangan ada hak kami yang terbatasi juga nanti,” ungkap Fajri.

 

Menurut Fajri, meskipun RUU tersebut belum diserahkan ke DPR oleh pemerintah namun keterlibatan publik harusnya sudah diikutsertakan sejak awal. Tidak cukup baginya bila publik hanya dikabarkan tentang tujuan dari omnibus law, dan sebagainya. Ada kebutuhan pubik untuk mengetahui lebih jauh susbtansi pasal apa saja yang akan dibatalkan, pasal apa saja yang diintegrasikan ke dalam RUU omnibus, sehingga tidak hanya disampaikan judul RUU nya saja.

 

Fajri kemudian menyinggung Satuan Tugas bersama yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang bertugas untuk melakukan konsultasi publik omnibus law. Fajri menilai langkah pemerintah terkait pembentukan satgas tersebut jika ditujukan untuk mempercepat proses pembahasan merupakan sebuah inisiatif yang baik. Namun untuk partisipasi publik, sekali lagi ia menekankan sebagai suatu keharusan.

 

Menurut Fajri, bentuk pelibatan partisipasi publik bisa ditempuh oleh pemerintah dengan jalan mempublikasikan perkembangan dan substansi yang menjadi pembahasan di pemerintah. Karena dengan demikian, publik akan berinisiatif sendiri untuk berpartisipasi dengan caranya. Akses terhadap perkembangan dan susbstansi pembahasan sangat minim hingga saat ini.

 

“Tapi publikasi dokumen pun sampai saat ini masih belum berlangsung. Oleh karena itu partisipasi publik pastinya tertutup,” ujar Fajri. 

 

Baca:

 

Ia menyebutkan, sikap kritis masyarakat dalam setiap proses pembentukan kebijakan merupakan keharusan. Hal ini akan berhubungan langsug dengan dampak kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Dalam contoh RUU omnibus ia mencontohkan, pemerintah tidak bisa hanya mengikutsertakan sebagian kalangan lalu meninggalkan kalangan yang lain. Dampak RUU akan berlaku kepada semua pihak.

 

“Nah tingkat kritis publik ini kan mereka tidak punya kuasa untuk memaksa pemerintah. Yang mesti dilakukan adalah pemerintah menyadari itu dan membuka ruang-ruang publikasi dan partisipasi kepada publik,” jelas Fajri.

 

Problem yang sama juga diutarakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ). Lebih lugas, IGJ bahkan menyebutkan pembahasan omnibus law sangat tidak demokratis, sebab tidak ada keterlibatan masyarakat sipil dan kalangan akar rumput. Pemerintah dinilai hanya melibatkan kelompok pengusaha, yang mana dipandang sebagai stakeholder utama sehingga substansi RUU tersebut dominan berpihak kepada kepentngan pelaku usaha.

 

“Pemerintah tidak sensitif memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil, yang kian hari termarjinalkan. Dalam pembahasan regulasi omnibus law yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat juga tidak dilibatkan oleh Pemerintah,” kata Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Rahmat Maulana Sidik.

 

Menurut Maulana, sedikitnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat membuat publik berspekulasi ke mana-mana. Di samping itu, pembahasan yang tidak demokratis dalam omnibus law menjadi masalah serius, sebab regulasi ini mencakup semua sektor hajat hidup orang banyak. Sehingga, keterlibatan masyarakat akar rumput dan kelompok masyarakat sipil sangat penting dalam menentukan kebijakan omnibus law. 

 

Ia menyitir pemberitaan media yang bersumber dari pemerintah yang menyebutkan bahwa omnibus law sangat memanjakan kalangan pengusaha dan investor. Mulai dari penghapusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) hingga penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal.

 

Dikabarkan, di sektor ketenagakerjaan, bahkan mengatur soal fleksibitas jam kerja bagi buruh, hingga menerapkan prinsip easy hiring easy firing (kemudahan mengambil, kemudahan memutus) yang memudahkan pengusaha dalam melakukan koreksi terhadap para pekerjanya sewaktu-waktu. 

 

Untuk itu, ia menilai bahwa jika kepentingan pengusaha lebih dominan diakomodir oleh Pemerintah dan DPR dalam omnibus law ini, maka Pemerintah telah gagal melindungi hak-hak masyarakat. “Oleh karena itu, kami meminta Pemerintah dan DPR membuka teks draft RUU Omnibus Law dan melibatkan partisipasi masyarakat didalamnya,” tambah maulana.

 

Sementara itu, Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri menilai bahwa kebijakan omnibus law berbahaya bagi keberlangsungan sejumlah pemangku kepentingan yang saat ini tidak dilibatkan dalam proses penyusunan. Menurut Faisal, pemerintah seakan abai terhadap kaum buruh. Hal ini terlihat dari tidak adanya kepentingan buruh yang terwakili dalam proses pembahasan RUU Omnibus Law tersebut. Bahkan pemerintah terkesan menutup-nutupi karena dalam proses pembahasan dilakukan secara tertutup. Oleh karena itu Faisal mempertanyakan naskah akademis dari RUU Omnibus Law.

 

“Sangat berbahaya omnibus law, tidak ada kepentingan buruh yang terwakili di dalam proses pembuatan ini juga tidak ada kepentingan daerah (terkait pajak daerah),” ungkap Faisal.

Tags:

Berita Terkait