Belum lagi, penerapan UU No.1/1974, yang berimplikasi pada pembatasan dan pengakuan perkawinan hanya bagi warga pemeluk lima agama resmi negara. Hal tersebut semakin memperkeruh status kewarganegaraan dan hak-hak sipil warga negara Indonesia, terutama untuk mengakses pelayanan publik dalam bidang catatan sipil, dan lain-lain.
Alhasil, warga etnis Tionghoa lebih sering diperlakukan sebagai seorang etnis Tionghoa daripada statusnya sebagai WNI. Seorang WNI yang beragama Islam, lebih sering diperlakukan keislamannya daripada status ke-WNI-annya, sehingga status perdatanya berbeda dengan WNI. Namun, yang lebih mengherankan adalah seorang warga negara Indonesia etnis Tionghoa, apapun agamanya, dia akan tetap diperlakukan sebagai etnis Tionghoa.
Dengan kebijakan seperti itu, akan timbul banyak persoalan yang mengarah pada diskriminasi, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI) untuk WNI etnis Tionghoa atau pembatasan pelayanan pencatatan sipil untuk WNI yang beragama/kepercayaan di luar lima agama resmi negara. Banyaknya permasalahan diskriminasi itu berakar pada kebijakan segregatif dari peraturan catatan sipil warisan kolonialisme, dan diperparah oleh beberapa peraturan yang muncul belakangan.
Peraturan-peraturan diskriminatif yang ada, termasuk mengenai catatan sipil, pada hakikatnya bersifat administratif Namun, karena sifat keperdataan yang terkandung dalam pencatatan sipil, praktek segregatif dan diskriminatif tersebut mengakibatkan praktek pembatasan dan diskriminasi hak-hak sipil terhadap sebagian WNI.
Misalnya, seorang WNI Tionghoa diperlakukan diskriminatif, status perdatanya disamakan dengan seorang WNA RRC, yang hingga saat ini status kewarganegaraan mereka selalu dipertanyakan dalam bentuk kepemilikan SBKRI. Sekalipun WNI Tionghoa tersebut sudah bergenerasi-generasi menjadiWNI. Keraguan status warga negara tersebut mengakibatkan ketidakmenentuan hak-hak sipil dan politik mereka sebagai warga negara seperti mendapat pembatasan untuk masuk institusi pendidikan negara, pembatasan menjadi pegawai pemerintahan, mengalami perlakuan yang berbeda dalam pelayanan publik dan lain-lain.
Permasalahan serupa dialami pula oleh WNI yang menganut agama/kepercayaannya, selain lima agama resmi negara. Mereka yang masuk ke dalam kategori ini tidak mendapatkan hak-hak mereka untuk mendapatkan pelayanan publik pencatatan sipil peristiwa penting dalam kehidupannya seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian, pengangkatan, pengesahan dan adopsi anak, perubahan nama, perubahan jenis kelamin, serta perubahan kewarganegaraan.
Pada akhirnya, diskriminasi yang diterima oleh warga yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui negara itu sangat mempengaruhi kehidupan keturunan mereka. Anak yang terlahir dari keluarga itu sering dianggap anak haram. Bahkan, dalam kehidupan sipil mereka mendapat perlakuan diskriminatif antara lain dalam hal kesempatan untuk menjadi pegawai di lembaga pemerintahan, pendidikan, dan lain-lain. Begitupun halnya mereka yang menikah berbeda agama/kepercayaan. Munculnya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang menekankan pernikahan berdasarkan agama/kepercayaan yang seragam, melahirkan sikap kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama untuk menolak pernikahan berbeda agama.