Pemantauan Persidangan dan Potret Unfair Trial di Indonesia
Kolom

Pemantauan Persidangan dan Potret Unfair Trial di Indonesia

Penasihat hukum merupakan aktor yang kehadirannya sangat diperlukan dalam pemeriksaan perkara pidana.

Bacaan 2 Menit

 

Pasal 56 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mensyaratkan kepada negara untuk menyediakan penasihat hukum kepada terdakwa yang tidak mampu menyewa penasihat hukum. Untuk beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana lebih dari lima tahun, ketersediaan penasihat hukum adalah hal yang diharuskan. Tidak hanya KUHAP beberapa aturan lain seperti Undang-Undang Bantuan Hukum dan yurisprudensi mengatur hal serupa.

 

Dalam yurisprudensi MA nomor 1565/k/pid/1991 dan 367/k/pid/1998 ditegaskan bahwa tuntuan penuntut umum dalam suatu perkara menjadi “tidak dapat diterima” apabila semenjak proses penyidikan, penyidik tidak menyediakan penasihat hukum bagi si tersangka. Tidak hanya dalam tataran hukum nasional, dalam skala internasional pun terkait hak seorang terdakwa untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum juga dikui dalam Basic Principles on the Role of Lawyers yang sudah disahkan PBB pada 1990.

 

Aturan-aturan tersebut sebenarnya sangat baik dan memiliki tujuan “mulia” untuk mewujudkan peradilan yang adil. Namun di Indonesia khususnya di Pengadilan Negeri Jakarta, Bogor, Depok dan Cibinong aturan tersebut hanya cita-cita belaka. Dari 100% perkara yang dipantau, 42%-nya para terdakwa tidak mendapat pendampingan dari penasihat hukum.

 

Pemeriksaan Saksi Cacat Formil

Dalam pemeriksaan saksi di persidangan oleh KUHAP disyaratkan beberapa hal, baik yang bersifat syarat formil ataupun materil. Untuk syarat formil misalnya, Pasal 159 dan Pasal 160 KUHAP mengatur bahwa para saksi dalam satu perkara dilarang berkomunikasi/bertukar informasi sebelum mereka diperiksa di persidangan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya saling mempengaruhi di antara para saksi, yang pada akhirnya menyebabkan keterangan yang diberikan bersifat tidak “murni”.

 

Dalam beberapa kondisi, beberapa sidang memang dimungkinkan dilakukan pemeriksaan saksi secara silang. Di mana untuk mencari kebenaran materil hakim akan melakukan “konfrontir” antar saksi. Sehingga pemeriksaan dilakukan dengan menghadirkan saksi sekaligus/tidak terpisah satu dan lainnya. Namun, hal itu hanya ada pada kondisi-kondisi tertentu.

 

Dalam sidang yang terpantau oleh mahasiswa tahun 2018 lalu. pada situasi “umum”, ternyata pemeriksaan saksi dilakukan tidak terpisah. Yang mana saat satu saksi diperiksa, saksi lain dalam kasus yang sama sedang duduk di bangku pengunjung dan menyaksikan sidang yang sedang berlangsung. Hal tersebut jelas bukan kondisi yang dibenarkan untuk mereka berada dalam satu ruang sidang.

 

Jika dalam setahun saja di lima wilayah pengadilan negeri yang terpantau masih ada 37% kasus yang tidak disidangan tanpa mengacu pada Pasal 159 dan Pasal 160 KUHAP di atas, maka dapat dipastikan persidangan yang diselenggarakan MA dan jajarannya telah unfair dan putusannya pun menjadi cacat hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait