Pemadaman Listrik Lumpuhkan Objek Vital: Negara Tak Punya Manajemen Krisis
Utama

Pemadaman Listrik Lumpuhkan Objek Vital: Negara Tak Punya Manajemen Krisis

Presiden tak cukup hanya marah. tapi harus mengevaluasi penuh koordinasi lintas kementerian, terutama terkait kesiapan dalam melakukan manajemen krisis ketika terjadinya kelumpuhan objek vital di Indonesia.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi didampingi Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menkominfo Rudiantara, Seskab Pramono Anung, dan Menhub Budi Karya Sumadi saat menemui pimpinan PLN di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Senin (5/8), terkait pemadaman listrik yang terjadi di beberapa wilayah. Foto: RES
Presiden Jokowi didampingi Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menkominfo Rudiantara, Seskab Pramono Anung, dan Menhub Budi Karya Sumadi saat menemui pimpinan PLN di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Senin (5/8), terkait pemadaman listrik yang terjadi di beberapa wilayah. Foto: RES

Tak cukup hanya menjawab persoalan ganti rugi, pemerintah juga diminta harus mampu menghadirkan manajemen krisis yang cakap dalam hal terjadinya peristiwa darurat dan bisa mengancam keselamatan publik, termasuk soal insiden pemadaman listrik massal. Sebut saja lumpuhnya pengoperasian MRT yang bahkan membuat banyak penumpang terjebak di rel bawah tanah. Contoh lain, lumpuhnya operasional kereta api tanpa adanya kepastian sehingga membuat ribuan masyarakat terlantar.

 

Menyikapi kejadian ini, Ketua Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), Hendrik Rosdinar, menyebut tidak ada satu proses koordinasi yang terstruktur dari pemerintah terhadap manajemen penanganan krisis ketika hal itu terjadi.

 

Menurutnya, tidak seharusnya MRT tak memiliki mekanisme back up terhadap ketiadaan listrik dan tak seharusnya KRL berhenti beroperasi dalam waktu lama. Bila hal yang sama terjadi pada rumah sakit disaat operasi dilakukan, katanya, jelas akan memakan banyak korban jiwa.

 

Terlebih, insiden pemadaman listrik massal ini sudah ketiga kalinya terjadi, yakni setelah tahun 1997 dan 2005. Seharusnya, manajemen krisis untuk situasi darurat yang bahkan melumpuhkan objek vital nasional ini sudah terbentuk dengan sangat proper. Mirisnya dari kejadian pemadaman listrik mendadak kemarin, publik tidak tahu siapa yang harus bertanggungjawab. Akhirnya, kesalahan dilemparkan hanya kepada PLN. Padahal, masing-masing sektor turunan seperti MRT, KRL dan Kementerian terkait juga harus bertanggungjawab.

 

“Presiden saya rasa tak cukup hanya marah. Presiden harus evaluasi penuh koordinasi lintas Kementerian, terutama terkait kesiapan mereka dalam melakukan manajemen krisis terhadap lumpuhnya objek vital di Indonesia,” ujarnya.

 

Utamanya, Menteri BUMN harus dievaluasi penuh akibat ketidakmampuannya dalam memberikan kepastian pelayanan BUMN yang baik, sehingga proses penanganan krisis menjadi sangat lambat dan tidak proper. Dari aspek teknis, Menteri ESDM juga harus dimintai pertanggungjawaban. Mengingat kejadian ini sudah yang ketiga kalinya terjadi, seharusnya ESDM telah memiliki basis mitigasi risiko bilamana terjadinya situasi darurat.

 

PLN sendiri juga disebutnya tak mampu memainkan manajemen krisis dengan cakap. Ia menilai PLN sangat lambat dalam memberikan informasi kepada publik terkait berapa lama akan terjadi pemadaman listrik dan apa saja yang akan terdampak. Dengan begitu, PLN juga berpotensi telah melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 10 UU KIP jelas menegaskan bahwa Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.

 

“Kami ingin masyarakat terus menuntut keadilan agar ada perubahan dari sisi pelayanan publik. Bila tidak, dikhawatirkan bila muncul impact yang lebih besar masyarakat terus berada dalam posisi yang dirugikan,” katanya.

 

(Baca: Soal Pemadaman Listrik Massal, 4 Lembaga Ini Siap Fasilitasi Konsumen Gugat PLN)

 

Partisipasi publik dalam kritik secara hukum, menurut Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Azaz Tigor Nainggolan, dapat mendorong pemerintah untuk mengoreksi kelalaian belum terbangunnya sistem manajemen krisis untuk peristiwa darurat seperti ini. Layaknya bencana, manajemen krisisnya ada BNPB untuk lingkup nasional dan BPBD untuk daerah. Untuk peristiwa di luar bencana, harus dipikirkan juga pembentukan manajemen yang bisa diaplikasikan di tingkat daerah maupun nasional.

 

“Kejadian ini membuktikan Indonesia sedang mengalami krisis pelayanan publik, jadi tak ada perlindungan ketika peristiwa itu terjadi,” tukasnya.

 

Akhiri Monopoli Listrik

Senada dengan Hendrik, Ketua BPKN Ardiansyah Parman juga mendesak agar PLN segera mengevaluasi dan memperbaiki kembali manajemen risiko dan sistem kedaruratannya. Bahkan, sifat pengelolaan energi listrik yang sangat monopolistik dikuasai PLN juga dimintanya harus dievaluasi kembali.

 

Salah satunya, dengan memberikan insentif kepada Sistem Jaringan Listrik Independen untuk mengurangi beban negara dan mendorong investasi infrastruktur Kelistrikan Swasta, terutama untuk sistem kelistrikan kawasan dan sistem kelistrikan sumber daya terbarukan.

 

(Baca: Konsumen Berhak Dapat Kompensasi Pasca Pemadaman Listrik Tiba-tiba)

 

PLN tentu menyadari adanya risiko beban jaringan sistem Jawa Bali. Pembangkit listrik terbesar berada di Jawa bagian Tengah dan Timur, sementara beban pemakaian terbesar berada di Jawa bagian Barat. Beban jaringan transmisi sangat berat dan berisiko terjadi trip cukup besar.

 

Beban daya yang ditransfer dari Timur ke Barat terlalu besar, apalagi kalau ada pembangkit di Barat yang trip seperti kemarin. Kondisi kemarin terjadi karena kegagalan transmisi dan juga turbin, namun apabila jaringan transmisinya handal, tidak perlu pemadaman.

 

“Sebetulnya di Pulau Jawa sekarang over-supply. Hanya saja sebagian besar pembangkit ada di Timur, sedangkan beban ada di Barat,” ungkapnya.

 

Ia juga mengatakan bahwa saat ini barrier to entry bagi IPP (Independent Power Producer) sangat tinggi sehingga menyulitkan investor padahal bisa mengurangi beban Pemerintah, demikian juga banyaknya keluhan sulitnya producer masuk ke Sistem Jaringan PLN walau dari sumber energi terbarukan seperti sampah (PLTS).

 

Menjadi pembelajaran bahwa Sektor Strategis seperti Telekomunikasi, Transportasi Publik dan Sistem Pembayaran serta Jasa Keuangan harus dijadikan prioritas dalam Sistem Kelistrikan Nasional, serta memiliki Sistem Catu Daya Cadangan yang memadai, sehingga mengurangi dampak ekonomi yang lebih besar dan luas.

 

PLN juga harus membuat rangkaian algoritma untuk mengenali semua skenario yang memungkinkan kegagalan operasi skala besar seperti Minggu 4 Agustus 2019 kemarin dan membuat rencana kontigensi yang lebih andal.

 

"Kejadian pemadaman listrik harus menjadi pembelajaran bagi Pemerintah dan pelaku usaha, khususnya PLN dan juga masyarakat. Pemerintah perlu mengkaji ulang strategi ketahanan energi nasional kita yang tampak masih rapuh," pungkasnya

 

Tags:

Berita Terkait