Peluang Dwikewarganegaraan di Indonesia? Simak Pendapat Sejumlah Tokoh
Berita

Peluang Dwikewarganegaraan di Indonesia? Simak Pendapat Sejumlah Tokoh

Mungkin bisa dilakukan untuk orang terbatas dan di negara tertentu saja.

MR25
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi dwikewarganegaraan yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia di Jakarta, Kamis (01/9). Foto: ZAIM
Suasana diskusi dwikewarganegaraan yang diselenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia di Jakarta, Kamis (01/9). Foto: ZAIM
Pada prinsipnya, Indonesia menganut satu kewarganegaraan (single citizenship). Kalaupun ada kewarganegaraan ganda terbatas menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, itu hanya berlaku kepada anak-anak hasil perkawinan campuran yang berusia 18 tahun ke bawah. Setelah 18 tahun mereka wajib memilih salah satu, jadi WNI atau Warga Negara Asing (WNA) sesuai kewarganegaraan salah satu orang tuanya.

Setelah kasus Archandra Tahar (mantan Menteri ESDM) dan anggota pasukan pengibar bendera, Gloria Natapradja Hamel, mencuat ke permukaan kini muncul ‘gugatan’ terhadap single citizenship. Melihat perkembangan internasional, sudah saatnya dipikirkan kemungkinan penerapan dwikewarganegaraan di Indonesia. Ide itu, setidaknya, mencuat dalam diskusi-diskusi mengenai UU Kewarganegaraan. Misalnya, diskusi yang dielenggarakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) di Jakarta, Kamis (01/9). 

Nuning Hallet, bekas Direktur Eksekutif Indonesian Diaspora Network, menjelaskan ide dispora sudah mulai dibahas sejak 2012 lalu. Ia berpendapat dwikewarganegaraan layak diterapkan di Indonesia karena beberapa alasan.

Pertama, kontribusi ekonomi dan human capital. Studi yang dilakukan D. Leblang (Harnessing the Diaspora: the Political Economy of Dual Citizenship, Migrant Remittance and Return, 2013) bisa dijadikan rujukan. Leblang membandingkan 133 negara dalam kurun waktu 1980-2009, menunjukkan bahwa dwikewarganegaraan turut mendorong remitansi yang lebih besar karena kebijakan dwikewarganegaraan didesain untuk menimbulkan perasaan inklusif dan pengakuan dari tanah air. Negara yang menerapkan dwikewarganegaraan menerima remitansi 70 persen lebih banyak daripada negara yang tidak menerapkan.

Kedua, dwikewarganegaraan tak terelakkan. Indonesia sendiri sudah mengakuinya secara terbatas dalam UU No. 12 Tahun 2006. Setelah anak usia 18 hingga 21 tahun ia harus memilih salah satu kewarganegaraan. Masalahnya, ada 44 negara yang menerapkan kebijakan warga negaranya tidak pernah kehilangan kewarganegaraan setempat.

Ketiga, transnasionalisasi dan migrasi menjadikan emigran dan keturunannya sebagai bagian dari agen perubahan di tanah airnya dan melahirkan identitas baru sebagai kaum diaspora. “Diaspora sebagai asset untuk soft diplomacy mewakili negara asalnya,” kata Nuning dalam diskusi tersebut.

Mantan Dirjen Kebudayaan, Kacung Marijan, juga tak memungkiri perkembangan global yang cepat. Semakin banyak warga negara Indonesia yang menjadi bagian dari warga global. Alhasil  tuntutan adanya pengakuan kewarganegaraan ganda semakin kuat. Indonesia, kata dia, dapat mempertimbangkan kewarganegaraan yang terbatas. “Terbatas bermakna, hanya warga negara Indonesia di negara-negara tertentu, dan berprofesi tertentu. Orang yang bekerja untuk diplomasi budaya, misalnya.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meminta Pemerintah berhati-hati merespons gagasan dwikewarganegaraan. Pemerintah perlu menetapkan batasan-batasan yang jelas siapa saja yang berhak memiliki kewarganegaraan ganda. “Ini bisa berkembang ke banyak hal, ini yang harus dipikirkan baik-baik,” ujarnya.

Hikmahanto berpendapat sekarang belum saat yang tepat menerapkan kewarganegaraan ganda. Kondisi sosial, ekonomi dan politik belum memungkinkan dijalankan. “Untuk saat ini saya pikir belum waktunya karena kondisi sosial, hukum, politik, ekonomi yang belum memungkinkan,” ungkapnya.
Tags:

Berita Terkait