Peluang dan Tantangan In-House Counsel di Era Artificial Intelligence
Terbaru

Peluang dan Tantangan In-House Counsel di Era Artificial Intelligence

Sejatinya, penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam berpraktik hukum layaknya pisau bermata dua, untuk itu In-House Counsel dituntut untuk memastikan adanya SOP tentang penggunaan AI di perusahaan.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit

Hukumonline.com

Suasana diskusi dalam sesi breakout room In-House Counsel Summit, Jumat (20/10).

Khusus untuk bidang kekayaan intelektual, peran AI dapat dimanfaatkan dalam banyak hal. Justi mengatakan terdapat tiga hal yang dimanfaatkan dalam penuntutan kekayaan intelektual. “Kita bisa gunakan untuk due diligence dalam pendaftaran merek, mencari dan menelusuri prior art, dan melakukan deteksi pelanggaran kekayaan intelektual di website, media sosial, dan e-commerce,” jelasnya.

Kemudian, untuk membantu kegiatan di bidang hukum AI hanya dapat melakukan hal-hal yang repetitif, prediktif, dan definitif, sehingga selebihnya masih diperlukan peran advokat. Di balik kemudahan hadirnya AI, tidak menutup kemungkinan mengikuti potensi isu hukum yang disebabkan oleh penggunaan AI. 

“Data AI itu ada input dan output, kalau inputnya salah sudah pasti outputnya salah. Untuk itu akan ada potensi isu hukum yang disebabkan oleh penggunaan AI di antaranya etika, pelindungan data, pelanggaran hak kekayaan intelektual, dan kepemilikan AI,” kata dia.

Justi melanjutkan, potensi isu hukum di lingkup etika mencakup informasi yang dihasilkan bias serta informasi yang dihasilkan tidak benar. Kemudian, untuk lingkup pelindungan data mencakup data perusahaan bocor dan pelanggaran privasi orang lain. 

“Untuk pelanggaran hak kekayaan intelektual itu nanti akan mencakup konten yang dihasilkan memuat kekayaan intelektual milik pihak lain, serta akan timbul kebingungan atas pemilik kekayaan intelektual dari konten yang dihasilkan oleh AI,” terang Justi.

Hukumonline.com

Suasana diskusi dalam sesi breakout room In-House Counsel Summit, Jumat (20/10).

Seluruh potensi isu hukum yang mungkin akan terjadi salah satunya karena AI bukan subjek hukum dan tidak memiliki kesadaran dalam menentukan kehendak dalam melakukannya, sehingga pertanggungjawaban perbuatan dan tindakan AI dibebankan kepada pembuat dan pengguna AI sebagai subjek hukum mutlak. 

“Konten yang dibuat oleh AI tidak memenuhi ketentuan ciptaan yang diatur dalam UU Hak cipta, hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta yang menjelaskan, karena tidak dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian,” lanjutnya.

Terkait dengan pemanfaatan AI di lingkup profesi In-House Counsel, Justi mengungkapkan harus ada peran In-House Counsel dalam pemanfaatan AI di perusahaan, di antaranya memastikan adanya SOP tentang penggunaan AI, memastikan adanya SOP tentang Pelindungan Data Pribadi, pelindungan kekayaan intelektual, dan memastikan tegaknya etika.

“In-House Counsel harus membuat kebijakan dan memberikan arahan dan pandangan baru terkait AI. Kemudian In-House Counsel menggunakan AI untuk efisiensi dan efektivitas dengan etika dan compliance dan hanya mengerjakan pekerjaan yang sifatnya administratif, prediktif, definitif, dan repetitif,” pungkasnya.

Ia juga mengimbau In-House Counsel bersama stakeholder untuk proaktif memberikan masukan kepada pemerintah agar pemerintah dapat membuat peraturan yang pas dan dapat berlaku di banyak industri sehingga pembuatan undang-undang tidak dibuat hanya untuk menuai kontradiksi di tengah masyarakat.

Tags:

Berita Terkait