Pelonggaran Uang Muka KPR Belum Cukup Dongkrak Penjualan Rumah
Utama

Pelonggaran Uang Muka KPR Belum Cukup Dongkrak Penjualan Rumah

Karena rumitnya perizinan, perpajakan, dan tingginya biaya administrasi yang menghambat proses penjualan properti.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam acara
Para pembicara dalam acara "Prospek Bisnis Mortgage Setelah Relaksasi LTV: Bagaimana Developer dan Bank Mengambil Peluang?" di Hotel Shangri La, Jakarta, Kamis (12/7). Foto: MJR

Kebijakan pelonggaran (relaksasi) uang muka kredit perumahan (KPR) atau loan to value (LTV) yang sebentar lagi ditetapkan Bank Indonesia (BI) dinilai belum cukup mendongkrak penjualan rumah. Hal ini disebabkan banyak faktor yang masih menghambat seperti regulasi, perizinan, perpajakan, tata ruang, kerja sama investasi, pasar modal, pertanahan, dan infrastruktur.

 

Hal tersebut diutarakan Ketua Dewan Pengurus Pusat Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), Soelaeman Soemawinata saat dijumpai dalam acara “Prospek Bisnis Mortgage Setelah Relaksasi LTV: Bagaimana Developer dan Bank Mengambil Peluang?” di Hotel Shangri La, Jakarta, Kamis (12/7/2018).

 

“LTV adalah obat mujarab, tapi itu bukan satu-satunya obat mujarab. Pasalnya, masih ada beberapa faktor lain di sektor properti yang mempengaruhi secara langsung seperti tata ruang, pertanahan, regulasi, perizinan, perpajakan, kerja sama investasi, pasar modal dan infrastruktur,” kata Soelaeman. Baca Juga: Aturan Relaksasi, Perbankan Bebas Tentukan Uang Muka KPR Asalkan

 

Dia melanjutkan faktor-faktor tersebut dinilai masih ada yang menghambat kegiatan usaha penjualan properti. Misalnya, masih terdapat permasalahan perizinan yang dihadapi pengembang yang berakibat membatalkan investasinya di Indonesia. “Ada investor asing yang ingin mengembangkan proyek di Indonesia, tapi mereka balik lagi ke negaranya karena izinnya 3-4 tahun enggak keluar,” ungkap Soelaeman.

 

Bagi Soelaeman permasalahan tersebut sangat mengganggu kegiatan bisnis properti karena industri ini memang berhubungan dengan sektor lain. Karena itu, dia berharap perlu ada kebijakan yang terintegrasi agar sektor properti dapat tumbuh. Berdasarkan hasil kajian REI dan Lembaga Manajemen Universitas Indonesia, sektor properti berperan terhadap 174 industri ikutan.

 

Hal senada juga diutarakan Direktur Consumer Banking PT Bank Tabungan Negara (Persero), Budi Satria. Menurutnya, perizinan yang rumit hingga biaya administrasi seperti pengurusan sertifikat juga menghambat penjualan properti. Sehingga, dia berharap regulator lebih mempermudah masyarakat dalam hal pengurusan administrasi tersebut.

 

“Proses perizinan dan pengurusan sertifikat itu biayanya besar juga,” keluh Budi.

 

Meski demikian, Budi menyambut positif kebijakan BI yang memperlonggar uang muka kredit perumahan hingga 0 persen tersebut karena di tengah suku bunga tinggi saat ini perlu ada stimulus (perangsang) agar mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan di sektor properti. “Kami berharap kebijakan LTV ini mampu mendorong pertumbuhan sektor properti ini jauh lebih cepat,” harapnya.

 

Respon positif juga disampaikan Direktur Konsumer PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Handayani. Baginya, selain mendorong penjualan properti rumah pertama, kebijakan ini juga berdampak positif bagi penjualan rumah kepemilikan rumah lanjutan.

 

“Kebijakan LTV baru ini menjadi hal yang mendorong bagi segmen market mungkin FK (fasilitas kredit) yang beberapa waktu lalu market ini tidak bergeming. Pelonggaran ini akan membantu segmen masyakarat yang ingin berinvestasi di sektor properti,” katanya.

 

Sebelumnya, Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Filianingsih Hendarta menjelaskan pelonggaran uang muka ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat di sektor properti. Dia menjelaskan di tengah kondisi suku bunga yang tinggi, kebijakan baru ini dapat menjadi stimulus konsumsi masyarakat.

 

“Di area kontruksi saat ini perlu ada stimulus pengkreditan. Kami melihat pertumbuhan KPR masih dalam fase yang bisa diakselerasi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya pada 2015 dan 2016, kebijakan pelonggaran LTV ini mampu mendorong pertumbuhan konsumsi properti,” kata Filianingsih saat dijumpai di Gedung Komplek Perkantoran BI, Jakarta, Senin (2/7/2018).

 

Dengan pelonggaran LTV ini, Filiani menjelaskan perbankan dapat menentukan sendiri besaran uang muka KPR dengan mempertimbangkan likuiditasnya dan portofolio debitur. Bahkan, kata Filiani, perbankan dapat menetapkan uang muka KPR hingga 0 persen.

 

“Melalui kebijakan ini, kami akan memberi kewenangan kepada industri perbankan untuk mengatur sendiri jumlah LTV/FTV dari fasilitas kredit/pembiayaan pertama sesuai dengan analisa bank terhadap debiturnya dan kebijakan manajemen risiko masing-masing bank,” kata Filiani.

 

Dia menjelaskan dalam menetapkan besaran LTV kepada debiturnya tersebut, bank harus memperhatikan pula aspek prudensial (kehati-hatian) dalam penerapannya. Karenanya, hanya bank yang memiliki NPL total kredit net di bawah 5 persen dan NPL KPR gross kurang 5 persen yang dapat memanfaatkan kebijakan pelonggaran ini. Sejak awal penerbitan ketentuan, kebijakan LTV/FTV juga telah mengecualikan program perumahan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

 

Untuk diketahui, dalam aturan sebelumnya dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio LTV untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value (FTV) untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor, uang muka KPR kepemilikan rumah pertama di bank konvensional sebesar 15 persen. Sementara, uang muka di bank syariah sebesar 10 persen.

 

Sedangkan untuk rumah kedua sebesar 20 persen untuk rumah bertipe di atas 70 meter persegi. Dan 15 persen jika rumahnya bertipe di bawah 21 hingga tipe 70 meter persegi. Untuk rumah ketiga, DP ditetapkan 25 persen untuk rumah di atas tipe 70 meter persegi dan 20 persen untuk rumah di bawah tipe 21 hingga tipe 70 meter persegi.  

Tags:

Berita Terkait