Pelaporan Terhadap Rocky Gerung Dianggap Tak Penuhi Unsur Ujaran Kebencian
Terbaru

Pelaporan Terhadap Rocky Gerung Dianggap Tak Penuhi Unsur Ujaran Kebencian

Sejatinya merupakan delik aduan. Presiden Joko Widodo tak mau mengadu dan membuat laporan. Pasal-pasal yang digunakan untuk melaporkan Rocky Gerung, terutama UU ITE dan pasal berita bohong dalam UU Peraturan Pidana adalah pasal yang marak digunakan untuk membungkam kritik dan pendapat.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
 Direktur Eksekutif Instiute for Criminal Justice Reform, Erasmus AT Napitupulu. Foto: RES
Direktur Eksekutif Instiute for Criminal Justice Reform, Erasmus AT Napitupulu. Foto: RES

Akademisi dan pengamat politik, Rocky Gerung dilaporkan beberapa organisasi kemasyarakatan (Ormas) ke polisi karena pernyataannya dianggap menghina Presiden Joko Widodo. Akibatnya membuat kebakaran jenggot para pendukung Presiden Joko Widodo yang berujung pelaporan ke pihak kepolisian. Sontak saja pelaporan tersebut menuai kritik dari sebagian kalangan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus AT Napitupulu mencatat mantan dosen ilmu filasafat Universitas Indonesia (UI) itu dituduh menyebarkan ujaran kebencian sebagaimana diatur Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 156 KUHP, Pasal 160 KUHP, dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan/atau Pasal 15 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana.

“Pasal-pasal yang digunakan untuk melaporkan Rocky Gerung, terutama UU ITE dan pasal berita bohong dalam UU Peraturan Pidana adalah pasal-pasal yang marak digunakan untuk membungkam kritik dan pendapat,” kata Erasmus dikonfirmasi, Kamis (3/8/2023).

Pria yang disapa Eras itu mencatat sedikitnya 3 hal dalam persoalan ini. Pertama, Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 mengatur pemidanaan terhadap penyebaran ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Pasal ini seharusnya dijalankan dengan memperhatikan batasan dalam Pasal 20 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mengatur larangan hasutan yang menganjurkan kebencian berdasarkan kebangsaan, ras, atau agama untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.

Baca juga:

Dengan demikian menjadi jelas objek dari pasal ini bukanlah individu atau orang perorangan melainkan kelompok SARA. Penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 saat ini yang melindungi individu, menurut Eras bertentangan dengan batasan yang dimuat dalam Pasal 20 ICCPR, sehingga praktik ini harus dihentikan.

Kedua, Eras mencermati penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU 19/2016 tentang ujaran kebencian terhadap kasus-kasus individual dan pejabat seperti ini muncul dipublik seiring dengan sulitnya memenuhi batasan yang berhasil dimuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016, yang salah satunya menyertakan syarat bahwa aduan harus datang langsung dari objek yang dihina. Sekalipun perbuatan yang dilakukan Rocky Gerung oleh berbagai pihak dapat dianggap sebagai penghinaan sesuai Pasal 27 ayat (3), perlu ditekankan ketentuan itu tidak untuk melindungi pejabat dari kritik warga di negara demokratis.

Lebih lanjut Eras berpendapat, penjelasan poin f Pasal 27 ayat (3) SKB UU ITE telah menekankan bahwa korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Ini juga sejalan dengan komentar umum ICCPR No.34 Paragraf 38, bahwa semua tokoh publik termasuk mereka yang menjabat posisi politik tertinggi seperti kepala negara dan pemerintah, merupakan subjek dari kritik.

Eras menegaskan, kritik terhadap pejabat negara maupun lembaga negara tidak boleh dilarang. Apabila Joko Widodo sebagai individu, bukan dalam kapasitasnya menjalankan fungsi jabatan, dan merasa ucapan Rocky Gerung merupakan penghinaan maka seharusnya Joko Widodo sendiri yang mengadukan Rocky Gerung. Namun, harus kembali diingat, Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 tidak untuk menjustifikasi arogansi jabatan dan melindungi otoritas tertentu dari kritik masyarakat.

Ketiga, Eras menyebut Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 mengenai berita bohong merupakan pasal yang bermasalah dalam rumusan dan implementasinya. Pasal itu diadopsi dari Weetboek Van Strafrecht masa kolonial Hindia-Belanda dan kembali masuk dalam UU 1/1946 karena kondisi Indonesia kala itu baru merdeka.

Urgensi Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 menurut Eras awalnya untuk mencegah penyebaran berita bohong di tengah masyarakat yang belum stabil karena baru saja merdeka. Sayangnya, pasal ini semakin marak digunakan bersamaan dengan UU 19/2016 dengan rumusan yang bermasalah karena tidak adanya perbedaan antara hoax, misinformasi, dan disinformasi serta definisi dari keonaran yang tidak jelas.

“Sayangnya, pasal berita bohong ini malah dimasukkan dalam DIM revisi kedua UU ITE (versi Juli 2023) sehingga menimbulkan duplikasi pasal,” imbuhnya.

Berdasarkan sejumlah hal tersebut Erasmus mengusulkan aparat penegak hukum menolak laporan terhadap Rocky Gerung karena tidak memenuhi unsur pasal ujaran kebencian. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) serta Komisi I DPR harus merevisi pasal ujaran kebencian dalam revisi kedua UU 11/2008 dengan mencabut Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Sekalipun pasal itu tetap diatur, harus selaras pasal 20 ayat (2) ICCPR tentang batasan ujaran kebencian.

Kemenkominfo serta Komisi I DPR menurut Eras perlu mencabut pasal berita bohong dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi kedua UU 11/2008. Hal itu penting untuk menghindari adanya pasal pemidanaan yang sama dalam 2 peraturan perundangan yang berbeda. Pejabat negara dan masyarakat juga perlu menerapkan prinsip HAM di negara demokratis dimana kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi ddan hanya dapat dibatasi sesuai prinsip HAM.

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prof Mohammad Mahfud Mahmodin atau dikenal dengan Mahfud MD, mengatakan pasal penghinaan ini masuk delik aduan dan sampai saat ini Presiden Jokowi belum mau mengadu. Dia menjelaskan pada masa pemerintahan sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadukan kasus serupa yang berujung pelaku diproses hukum.

“Nah ini Presiden Jokowi tidak mau mengadu,” katanya kepada awak media.

Kendati pasal penghinaan sifatnya delik aduan, tapi Prof Mahfud mengatakan bisa saja ke depan berkembang menjadi bukan delik aduan. Hal ini terkait terpenuhinya syarat pidana dan sudah ada presedennya dimana pelaku penghinaan itu kemudian dijatuhi hukuman.

Dua laporan

Direktorat Reserse kriminal Khusus Polda Metro Jaya melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Setidaknya ada 2 laporan yaitu laporan bernomor LP/B/4459/VII/2023/SPKT/Polda Metro Jaya dan laporan bernomor LP/B/4465/VIII/2023/SPKT/Polda Metro Jaya.

Masing-masing merupakan laporan terhadap Rocky Gerung dan Refly Harun atas dugaan penghinaan kepada Presiden Jokowi. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, menjelaskan tim penyelidik masih melaksanakan kegiatan penyelidikan sebagai tindak lanjut penanganan kedua laporan tersebut.

“Melakukan klarifikasi terhadap para pelapor dalam 2 laporan tersebut yakni melakukan klarifikasi terhadap para saksi, melakukan koordinasi dan klarifikasi terhadap para ahli seperti ahli pidana, bahasa, sosiologi hukum ITE dan ahli lainnya,” ujarnya dikutip dari Antara.

Dalam laporan tersebut Rocky Gerung dan Refly Harun dituduh melanggar pasal 28 ayat (2) jo pasal 45 ayat (2) UU ITE dan/atau pasal 156 KUHP dan/atau pasal 160 KUHP dan/atau pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan/atau Pasal 14 UU 1/1946

Sementara menanggapi soal laporan terhadap dirinya ke pihak kepolisian, Rocky Gerung tak ambil pusing. Rocky tak mempersolkan laporan tersebut. “Hak mereka buat melaporkan," katanya. Ia juga mengaku menunggu proses hukum yang berjalan. "Tunggu saja proses hukumnya, gampang lho,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara.

Tags:

Berita Terkait