Pelanggaran HAM Cenderung Meningkat
Berita

Pelanggaran HAM Cenderung Meningkat

Mulai dari kekerasan terhadap kebebasan beragama, perempuan dan anak.

ADY
Bacaan 2 Menit
Pelanggaran HAM Cenderung Meningkat
Hukumonline

Salah satu kesimpulan yang dihasilkan dalam Sidang HAM 3 menyebut tingkat pelanggaran HAM saat ini cenderung meningkat. Menurut pimpinan sidang, Dianto Bachriadi, kesimpulan itu terlihat dari pemaparan tiga lembaga HAM independen -- Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) --dalam Sidang HAM 3 yang berlangsung Kamis lalu (12/12) di Jakarta.

Dianto menjelaskan, dari paparan yang disampaikan perwakilan Komnas HAM, ditemukan banyak kasus pelanggaran hak kebebasan beragama. Komnas Perempuan menguraikan kasus kekerasan yang meningkat terhadap perempuan. KPAI menyoroti kekerasan seksual dan pornografi terhadap anak. "Terjadi peningkatan kasus pelanggaran HAM," katanya saat memimpin Sidang HAM 3 di Jakarta.

Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rachmat, mengatakan pelanggaran HAM di bidang kebebasan beragama dipicu sejumlah sebab seperti regulasi yang kurang berpihak pada kelompok minoritas dan lemahnya penegakan hukum. Ujungnya, kebebasan beragama dilihat sebagai hak asasi yang dapat dikurangi. Pemerintah mestinya tidak mengintervensi dalam rangka menghormati hak-hak setiap orang termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Menurut Imdadun, intervensi negara terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM, baik terhadap individu atau kelompok. Mengingat Indonesia sudah meratifikasi deklarasi HAM PBB (ICCPR), pemerintah wajib melakukan reformasi hukum dan mengimplementasikan ketentuan ICCPR. Segala regulasi nasional yang dirasa bertentangan dengan prinsip ICCPR harus dicabut atau direvisi.

Salah satu peraturan yang memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap kebebasan beragama diantaranya UU No. 1/PnPS/1965 jo UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Menurut Imdadun, regulasi itu mengandung ketentuan yang memberi peluang besar kepada pemerintah melakukan intervensi dan diskriminasi terhadap agama, aliran dan keyakinan kelompok minoritas. Misalnya, pemerintah berwenang membubarkan dan menyatakan suatu organisasi atau aliran sebagai terlarang. Walaupun ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan UU Penodaan Agama, Imdadun menilai praktiknya di lapangan tidak ada perubahan. Sebab diskrimnasi terhadap kelompok minoritas masih terjadi.

Komisioner Komnas Perempuan, Arimbi Heroepoetri, menyoroti kasus pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan. Pemiskinan itu misalnya penggusuran paksa masyarakat yang mengakibatkan sumber kehidupan tercerabut. Ia melihat persoalan itu melibatkan lembaga eksekutif dan legislatif. Ketika masalah itu terus berlarut dan tidak ada penyelesaian yang berpihak kepada korban maka lembaga legislatif pun berpotensi ikut terlibat. “Hal itu menyebabkan masyarakat tidak bisa hidup mandiri,” urainya.

Menurut Arimbi, Komnas Perempuan menilai jika sumber utama pemiskinan tidak disentuh maka masalah pekerja migran, pekerja seks, buruh kasar, keberadaan masyarakat adat tidak akan terselesaikan. Oleh karenanya segala hal yang menyebabkan sumber kehidupan masyarakat tercerabut harus dibenahi. Komnas Perempuan memandang pencerabutan sumber kehidupan itu sebagai kejahatan kemanusiaan karena dilakukan masif dan sistematis lewat perangkat regulasi dan tindakan pengabaian.

Tags:

Berita Terkait