Pelanggaran Hak Fair Trial Naik
Berita

Pelanggaran Hak Fair Trial Naik

Pengacara publik LBH merasa ikut dikriminalisasi saat melakukan pendampingan.

ADY
Bacaan 2 Menit
LBH Jakarta. Foto: SGP
LBH Jakarta. Foto: SGP
Setiap orang berhak untuk mendapatkan proses peradilan yang adil. Hak atas fair trial itu diberikan selama seseorang dalam proses hukum. Fair trial adalah salah satu ciri negara hukum, sehingga negara harus menjamin proses hukum berjalan dengan melindungi hak-hak setiap orang.

Sayang, pelanggaran terhadap hak fair trial masih terus terjadi. Setidaknya, begitulah catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta selama setahun terakhir. Tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla justru diwarnai sejumlah pelanggaran hak atas fair trial. Advokat publik LBH Jakarta yang bertugas di Divisi Penelitian dan Dokumentasi, Revan Tambunan, mengatakan tahun 2014 LBH Jakarta menerima 56 kasus terkait pelanggaran hak atas fair trial. Tahun 2015 jumlahnya meningkat jadi 71 kasus.

Modus pelanggaran sebenarnya tak jauh beda dari tahun-tahun sebelumnya. Rekayasa kasus perdata menjadi pidana, misalnya. Atau, rekayasa alat bukti, bahkan menyiksa orang untuk mendapatkan alat bukti sering terjadi. Bentuk lain adalah kriminalisasi, dalam arti mengkriminalkan seseorang yang tak selayaknya dikriminalisasi.

Kriminalisasi menimpa dua orang advokat publik LBH Jakarta. Saat melakukan pendampingan dalam demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015 di depan Istana Negara, dua pengacara publik LBH Jakarta ditangkap polisi. “Dalam perstiwa tersebut 22 buruh dan 1 mahasiswa ikut ditangkap,” kata Revan dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (15/12).

Modus rekayasa juga terjadi dalam pemberian bantuan hukum. Revan menjelaskan dalam peraturan perundang-undangan seperti KUHAP, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan saksi, tersangka dan terdakwa punya hak untuk didampingi penasihat hukum sejak awal pemeriksaan. Namun, aparat kepolisian kerap mempersulit atau merekayasa hak atas bantuan hukum itu.

Misalnya, dikatakan Revan, dalam BAP tertulis sudah memiliki kuasa hukum, tapi faktanya tidak ada bantuan hukum yang diberikan oleh kuasa hukum. Penyidik, langsung atau tidak, ‘memaksa’ tersangka membuat pernyataan menolak didampingi kuasa hukum. Belum lagi model lama penyiksaan agar seseorang mengaku.

Revan mengatakan kasus yang dilaporkan masyarakat sipil kepada kepolisian kerap mandek. Misalnya, laporan buruh kepada polisi terkait pengusaha yang tidak membayar upah dan memberangus serikat buruh. Tindakan itu masuk ranah pidana, tapi ketika buruh melapor kepolisian merespon positif. Menurutnya, ini terjadi karena kewenangan penyidik yang sangat besar tidak diimbangi pengawasan yang baik.

Pengacara publik LBH Jakarta lainnya, Ichsan Zikry, mengatakan ketidakseimbangan kewenangan dan pengawasan itu berimbas pada penegakan hukum. Polisi bisa sewenang-wenang menangkap dan menahan orang. Zikry meminta revisi KUHAP memperkuat pengawasan penuntut umum kepada polisi dalam konteks koordinasi. “Penyidik perlu berkoordinasi dengan penuntut umum dan harus dibawah kendali penuntut umum,” usulnya.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia (FSPASI), Herry Hermawan, lebih menekankan pada nasih yang dialami buruh dalam penegakan hukum. Buruh yang memperjuangkan penolakan terhadap PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan justru ditangkap dan ditahan polisi. “Tidak berhenti di situ, kriminalisasi pasca demonstrasi itu terus terjadi dengan dijadikannya Sekjen KSPI, Muhammad Rusdi sebagai tersangka,” papar Herry.

Aparat polisi, kata Herry, bertindak represif saat mengawal aksi mogok nasional buruh di sejumlah kawasan industri. Misalnya, di Kabupaten Bekasi, aparat kepolisian menangkap sejumlah buruh termasuk anggota DPRD Kabupaten Bekasi, Nurdin Muhidin yang ketika itu berorasi. “Ke depan pengawasan terhadap aparat kepolisian harus diperkuat,” tukasnya.
Tags: