Pelaku Usaha Dukung Kebijakan Baru Bea Masuk Impor E-Commerce
Berita

Pelaku Usaha Dukung Kebijakan Baru Bea Masuk Impor E-Commerce

Aturan ini diyakini bisa menciptakan persaingan usaha yang sehat dan fair.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Jumpa pers Apindo terkait kebijakan baru bea masuk impor e-Commerce. Foto: FNH
Jumpa pers Apindo terkait kebijakan baru bea masuk impor e-Commerce. Foto: FNH

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC) melakukan revisi terhadap nilai pembebasan bea masuk barang impor e-commerce. Jika sebelumnya barang bebas bea masuk dengan nilai maksimal 75 dolar AS, saat ini setiap barang yang bernilai 3 dolar AS wajib membayar bea masuk. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Aturan ini berlaku per kiriman mulai 30 Januari 2020.

 

Pemerintah merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5-37,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, dan PPh 10 persen dengan NPWP, dan PPh 20 persen tanpa NPWP menjadi sekitar 17,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 0 persen). Aturan ini tercantum di dalam PMK No.199 Tahun 2019 tentang

 

Rupanya kebijakan ini didukung oleh pelaku usaha di Indonesia. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menegaskan bahwa pihaknya mendukung langkah pemerintah menurunkan bea masuk impor e-commerce. Menurutnya, peningkatan jumlah impor barang e-commerce yang masuk ke Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan bisnis di dalam negeri.

 

Kebijakan ini juga menjadi bukti nyata bahwa pemerintah mendengarkan masukan dari dunia usaha terkait peningkatan impor barang kiriman melalui platform e-commerce yang dikhawatirkan akan mengganggu industri nasional, terutama UKM. Kebijakan ini diharapkan dapat mencuptkan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level of playing field antara hasil produksi dalam negeri yang dikenakan pajak dengan produk-produk impor.

 

“Kebijakan tersebut memang permintaan pelaku usaha dalam negeri terkait produsen yang merasakan dampak impor barang e-commerce. Apalagi makin lama impor e-commerce ini meningkat dan mengganggu industri kecil dalam negeri,” kata Hariyadi.

 

Hariyadi menyebut jika penerapan ketentuan baru barang kiriman juga ditujukan untuk menciptakan perlakuan perpajakan yang adil dan melindungi industri kecil menengah serta menciptakan kesetaraan level playing of field. Harga barang impor e-commerce yang terlalu murah dianggap tidak fair dari segi harga jual.

 

Selain itu, Hariyadi juga menegaskan jika aturan ini tidak akan merugikan UKM atau pelaku usaha yang berdomisili di Batam. Justru regulasi ini memberikan keadilan kepada seluruh pelaku usaha, terutama pengusaha jasa titipan yang selama ini terlindungi dari aturan bea masuk.

 

Untuk diketahui, impor e-commerce dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang signifikan. Di tahun 2019 saja, barang kiriman yang masuk ke dalam wilayah Indonesia selain Batam mencapai 57,9 juta paket. Sedangkan barang eks luar negeri yang ditransitkan melalui Batam mencapai hampir 45 juta paket. Angka ini jauh meningkat jika dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 19,5 juta paket atau kiriman.

 

Sedangkan untuk barang pindahan, barang retur, dan barang transit yang berasal dari wilayah Indonesia lainnya dengan tujuan wilayah Indonesia lainnya melalui Batam tidak dikenakan bea masuk dan pajak impor sebagaimana telah berjalan selama ini. Begitu pula untuk menjamin keberlangsungan industri di Batam, maka barang produksi Batam yang dikeluarkan ke wilayah Indonesia lainnya tidak dikenakan bea masuk dan PPh, namun hanya dikenakan PPN dalam negeri.

 

Selanjutnya, Hariyadi menilai meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, namun pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan oleh pengrajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri menjadi tidak laku.

 

Maka untuk melindungi produk-produk dalam negeri dari serbuan produk impor, maka untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen, pemerintah menetapkan tarif normal yaitu bea masuk sebesar 15-20 persen untuk tas, 25 persen untuk sepatu, dan 15-25 persen untuk produk tekstil. Sedangkan PPN dikenakan sebesar 10 persen, dan PPh sebesar 7,5 persen hingga 10 persen.

 

“Penerapan tarif normal demi melindungi industri dalam negeri yang mayoritas berasal daru UKM,” tambahnya.

 

Ketua Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Budiharjo Iduansjah menambahkan banjirnya barang impor e-commerce membuat produk-produk di dalam negeri sulit bersaing karena ketidaksetaraan dari sisi harga. Dengan adanya regulasi ini, lanjutnya, memunculkan kesetaraan antara pelaku usaha, baik pelaku usaha impor maupun lokal sehingga menciptakan persaingan yang sehat.

 

“Kami mendukung kebijakan ini. Untuk jasa titipan dan UKM di Batam, tidak akan dirugikand dengan hal ini. Justru aturan ini membuat produsen UKM yang benar dan jujur akan berdampak kepada naiknya penjualan, dan merangsang impor yang benar,” imbuhnya.

 

(Baca: Pelaku Usaha Keluhkan Kebijakan Safeguard Tekstil, Ini Alasannya!)

 

Dalam penyusunan aturan ini, Hariyadi mengakui bahwa pemerintah melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan aturan yang inklusif serta menjunjung tinggi keadilan dalam berusaha. Dengan adanya aturan baru ini diharapkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk barang kiriman dapat benar-benar mendorong masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri.

 

“Perubahan aturan ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk mengakomodir masukan para pelaku industri dalam negeri khususnya UKM, dan kami mengapresiasi langkah ini,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait