Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia
Utama

Pelaku KDRT Potong Kaki Istri dan Problem KDRT di Indonesia

Aksi kekerasan ekstrim ini bahkan dilakukan di hadapan anak yang masih berusia 9 tahun. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman 8 tahun penjara terhadap terdakwa. Kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es, sehingga seharusnya perempuan harus berani speak up, berdaya secara ekonomi, dan kesadaran masyarakat.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit

Pergeseran ke ranah publik dalam UU PKDRT dapat dijumpai dalam Pasal 15 yang mengatur, “setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan”.

Tahun ini UU PKDRT akan memasuki usia genap 20 tahun sejak diterbitkan. Namun, menjadi kekhawatiran tersendiri tatkala Komnas Perempuan mempublikasikan melalui rilis resminya pelaporan kasus KDRT setiap tahunnya mengalami peningkatan. Di tahun 2021, terdapat pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) atau 31% dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal.

Akademisi Studi Gender dari Perspektif Hukum Pidana itu menilai dari segi regulasi telah memadai, hanya saja pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan. Pasalnya, Indonesia telah dibekali perangkat konvensional dalam bentuk KUHP, perangkat modern dengan UU PKDRT, dan lebih progresif dengan UU TPKS. Kebijakan-kebijakan ini masih belum diikuti dengan kesadaran masyarakat.

“Pada kasus-kasus yang melibatkan perempuan sebagai korban, itu pada proses hukum pihak perempuan malah menjadi korban kedua. Korban dari kekerasan itu, lalu korban dari proses penegakan hukum. Meski kita sudah lihat perkembangan kebijakan perundangannya, tapi dalam praktik penegakan hukumnya masih ketinggalan zaman,” ujar Hidayatullah.

Ia memiliki pengalaman dalam memberi pendampingan pada kasus serupa, dimana istri yang menjadi korban KDRT kerap mengalami penganiayaan yang tidak berhenti sampai sang istri ‘berdarah-darah dan jatuh’. “Setelah kami lakukan pendampingan, kami kaget karena sebetulnya pihak suami dan keluarganya itu dihidupi secara ekonomis oleh istrinya. Apakah ini kasus pertama? Ternyata tidak, sudah beberapa kali. Kasusnya sama seperti kasus NL (inisial korban KDRT di Bali), keluarga tidak setuju,” imbuhnya.

Seperti dikabarkan BBC, kasus KDRT yang dialami NL telah terjadi selama bertahun-tahun dan diketahui oleh keluarga. Terdapat penganiayaan besar dan kecil dilakukan oleh sang suami. Namun keluarga terus menyarankan kepada NL untuk bertahan seraya berharap tabiat suaminya akan berubah. Tapi dengan kondisi NL yang berakhir kehilangan kakinya, akhirnya NL ikut dengan keluarganya dan tidak bersama keluarga suaminya lagi.

Meskipun terdapat dugaan dari suami pelaku KDRT terhadap NL yang dituding berselingkuh, nampaknya hal tersebut tak lantas meringankan hukuman yang diterima. Ironisnya, NL diketahui telah beberapa kali meminta izin keluarga untuk menceraikan sang suami, namun tak pernah diizinkan. 

Tags:

Berita Terkait