Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Perjanjian yang Sah Dapat Dibatalkan Sepihak
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Perjanjian yang Sah Dapat Dibatalkan Sepihak

Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang menyatakan asas perjanjian yang sah pada asasnya tidak bisa ditarik secara sepihak.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Menjadi pertanyaan, apakah orang harus terikat pada perjanjian yang ditutupnya sampai perjanjian itu kedaluwarsa? Dari sudut debitur: apakah debitur harus terikat sampai ia mati? Bukankah sesudah debitur mati, maka kewajiban itu beralih kepada ahli warisnya?

 

Prinsip yang mengatakan perjanjian yang sah pada asasnya tidak bisa ditarik kembali secara sepihak, merupakan konsekuensi logis dari asas yang diletakkan dalam Pasal 1338 ayat (1) B.W. di atas, yang mengatakan, bahwa perjanjian mengikat para pihak yang menutupnya seperti undang-undang.

 

Atas prinsip itu ada perkecualiannya, sebagaimana disebutkan dalam anak kalimat terakhir ayat kedua pasal tersebut di atas, yaitu “… atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”, yang mau mengatakan, bahwa:

 

Perjanjian tertentu bisa batal atau dibatalkan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, kalau “undang-undang menyatakan ada cukup alasan untuk itu” (uit hoofde der redenen welke de wet daartoe voldoende verklaart).

 

Baca: Pelaksanaan Suatu Perjanjian

 

Undang-undang memang dalam pasal-pasal tertentu, menyatakan perjanjian tertentu batal atau memungkinkan salah satu pihak dalam perjanjian untuk menuntut pembatalannya. Contohnya Pasal 1266, 1267, 1335, 1611, 1646 sub 3, 1688 dan 1813 B.W. Di samping itu, ada yang juga perlu untuk mendapat perhatian kita, yaitu bahwa benar sekali kalau pengadilan pernah menyatakan, bahwa tidak ada ketentuan undang-undang yang melarang dimungkinkannya pembatalan suatu perjanjian, yang telah ditutup untuk jangka waktu yang tidak tertentu, secara sepihak.[1] 

 

Perhatikan kata-kata “untuk jangka waktu tidak tertentu”. Perjanjian-perjanjian seperti itu (yang ditutup untuk jangka waktu tidak tertentu) memang harus bisa diakhiri secara sepihak; para pihak pada asasnya harus mempunyai kesempatan untuk bisa melepaskan diri dari keterikatannya, kalau tidak, maka para pihak harus terikat seumur hidup.[2] 

 

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah, kalau ada perselisihan mengenai perjanjian itu, Hakim -yang harus memberikan keputusan- juga terikat untuk menghormati apa yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian ?

 

Kalau pada asasnya perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang, maka mestinya Hakim pun terikat pada apa yang telah disepakati para pihak, dalam arti, dalam memberikan keputusan, ia terikat kepada apa yang para pihak, dalam hubungannya satu sama lain, telah atur sendiri dalam perjanjian.[3]

 

Bukankah orang tidak boleh main Hakim sendiri, sehingga pelaksanaan suatu perjanjian, kalau tidak dipenuhi secara suka rela, harus minta bantuan Hakim? Bukankah dalam peristiwa demikian, Hakim harus membantu penggugat untuk mendapatkan apa yang dalam perjanjian telah diperjanjikan menjadi haknya? Bukankah Hakim harus membantu mewujudkan asas, bahwa apa yang telah disepakati mengikat para pihak?

 

Sekalipun demikian Hakim perlu juga memperhatikan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) B.W., yang mengatur “akibat perjanjian”. Pasal 1338 ayat (3) B.W. mengatur tentang pelaksanaan perjanjian, dengan menentukan, bahwa: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

 

Dari kata “harus dilaksanakan” kita menyimpulkan, bahwa Pasal 1338 ayat (3) B.W. -berlainan dengan pasal-pasal dalam Bagian Kedua Bab II Buku III, yang mengatur tentang lahirnya perjanjian- mengatur pelaksanaan suatu perjanjian yang telah dibuat. Jadi mengatur pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat secara sah (Pasal 1338 ayat (1) B.W.). Perjanjian seperti itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

 

Kalau Pasal 1338 ayat (1) dibaca dalam satu rangkaian dengan Pasal 1338 ayat (3) B.W., maka kedua ketentuan itu berbunyi: Perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya seperti undang-undang, namun dalam pelaksanaannya perjanjian itu harus memenuhi tuntutan itikad baik.

 

Apa yang dimaksud dengan itu? Kata “itikad baik” -menurut para sarjana- mengingatkan orang akan perjanjian dalam Hukum Romawi, yang membedakan antara perjanjian bonae fidei dan perjanjian stricti juris, di mana pada perjanjian bonae fidei Hakim, atas dasar itikad baik, boleh mengubah apa yang tegas-tegas disepakati dalam perjanjian, sedang pada perjanjian stricti juris kewenangan seperti itu tidak ada. Terhadap perjanjian bonea fidei Hakim mempunyai kewajiban untuk memberikan keputusan berdasarkan kepatutan dan itikad baik.[4]

 

Kalau Pasal 1338 ayat (3) B.W. mengatakan, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”, maka ada dasar bagi kita untuk mengatakan, bahwa B.W. menganut asas: semua perjanjian adalah perjanjian bonae fidei,[5] paling tidak mengatakan, bahwa B.W. tidak mengenal perjanjian stricti juris

 

Apakah dengan itu mau dikatakan, bahwa Hakim diberikan kewenangan untuk, dengan berpegang kepada itikad baik, menentukan isi perjanjian? Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) B.W.?

 

J. Satrio

 

Catatan: Judul artikel ini sudah diubah oleh redaksi, untuk judul asli dari penulis adalah “Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Perjanjian Sah Bisa Dibatalkan Secara Sepihak, Kalau Undang-Undang Menyatakan Seperti Itu”.

 

[1]     HR  17 Maret 1927, NJ, 1927, 1025.

[2]     A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar het Nederlands Burgelijk Wetboek, hlm. 182; Asser – Rutten, Algemene leer der overeenkomsten, hlm. 226 dsl.

[3]     Asser – Rutten, Algemene leer der overeenkomsten, hlm. 228.

[4]     Ibid., hlm. 229.

[5]     A. Pitlo, Het verbintenissenrecht, hlm. 182.

Tags:

Berita Terkait