Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pendapat Pengadilan dalam Perkembangannya

Tulisan ini kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas bahwa pengadilan berhak mengubah apa yang disepakati para pihak dalam perjanjian sekaligus artkel terakhir dari serial “Pelaksanaan Suatu Perjanjian” yang ditulis J. Satrio.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Foto: FEB
J. Satrio. Foto: FEB

Di makalah yang lalu telah dikemukakan munculnya masalah dalam pelaksanaan suatu perjanjian, yang biasanya terjadi, sehubungan dengan adanya perubahan keadaan yang besar sekali, yang tidak diduga pada saat perjanjian ditutup. Demikian juga keadaan di Indonesia ketika terjadi adanya laju inflasi uang Rupiah yang sangat tinggi dan juga karena adanya sanering (gunting uang) dan penggantian mata uang lama dengan mata uang baru, dengan nilai yang sangat berbeda.

 

Pengadilan pernah dihadapkan kepada masalah: kalau suatu tanah telah digadaikan (dijual gadai) dengan harga Rp50 di tahun 1943, berapakah sepantasnya gadai itu ditebus dalam tahun 1954?

 

Dalam pertanyaan itu sudah tersimpul, bahwa sekalipun perjanjian gadainya (jual gadainya) telah disepakati dengan harga Rp50, namun adalah tidak pantas (tidak patut), kalau sekarang (tahun 1954) cukup ditebus dengan Rp50.

 

Mahkamah Agung (MA) berpendapat, bahwa: uang tebusan itu, dalam tahun 1954, harus dihitung dengan memperhitungkan besarnya inflasi, dan untuk mengukur besarnya inflasi dipakai nilai emas sebagai patokan. Sehingga besarnya uang tebusan patutnya diukur dengan menggunakan standar emas (MA 11-05-1955, No. 26 K/Sip/1955, dimuat dalam H. 1955 No. 3 hlm. 52 dsl.).

 

Bahkan kemudian MA dalam Suratnya No. Um/660/X/950/P/I/1969 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di Manado mengatakan, bahwa menurut yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung penilaian itu harus dilakukan dengan menggunakan harga emas pada waktu jumlah itu ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, yaitu tanggal 11 Juli 1963, dan harga emas pada waktu sekarang (pada saat pelaksanaan) dengan membebankan risiko karena pernilaian itu kepada kedua belah pihak, dengan rumus:

 

         2.650.000

1/2 x ------------  x  Rp. 600,-  = Rp. 441.666,66 uang baru/sekarang.    

          1.800

 

Perlu dijelaskan bahwa uang Rp2.650.000 itu adalah jumlah yang diterima (ditetapkan) oleh Pengadilan Negeri sebagai jumlah yang terhutang berdasarkan tuntutan si penggugat. Rp1.800 adalah harga emas pada waktu itu, sedang Rp600 adalah harga emas pada waktu uang itu harus dikembalikan.

 

Rumusan itu ditegaskan lagi dalam Surat Edaran No. 94/1970, disampaikan dalam surat No. M.A./Pemb/479/70 ttgl. 2 Maret 1970.

 

Adapun inti rumusan itu adalah sebagai berikut: jumlah yang semula disepakati, dibagi dengan harga emas pada waktu itu. Ini untuk memperoleh banyaknya emas yang bisa dibeli dengan jumlah uang yang semula disepakati. Hasilnya adalah sekian gram emas. Jumlah itu dikalikan dengan harga emas pada saat perhitungan dilakukan (pada waktu uang harus dikembalikan), sehingga didapat sejumlah uang, yang mestinya diperoleh dengan menjual emas itu pada saat hitungan dilakukan. Jumlah itu dibagi 2, karena risiko kenaikan harga itu dipikul oleh kedua belah pihak masing-masing separuh.

 

Misalkan jumlah yang semula disepakati (baik berupa harga jual-beli atau besarnya pinjaman) adalah Rp600.000. Harga emas pada saat itu adalah Rp20.000 per gram, maka uang Rp600.000 bisa mendapatkan 30 gram emas. Pada saat perhitungan dilakukan (saat harus dibayar kembali atau dikembalikan), harga emas telah menjadi Rp100.000 per gram, maka 30 gram emas sekarang berharga Rp3.000.000. Karena risiko kenaikan menjadi tanggungan bersama, maka yang harus dibayar pada saat perhitungan adalah 1/2 x Rp3.000.000 = Rp1.500.000. Jadi uang Rp600.000 harus dikembalikan menjadi Rp1.500.000.  

 

Semua itu didasarkan atas pikiran, bahwa melaksanakan perjanjian sebagaimana yang telah disepakati akan menimbulkan ketidakpatutan.

 

Dengan itu berarti, bahwa kalau terjadi suatu perubahan nilai uang yang sangat besar -karena adanya inflasi yang besar sekali atau adanya sanering uang- antara nilai jumlah yang semula disepakati dibandingkan dengan nilai uang pada saat uang itu harus dikembalikan. Maka Hakim, demi untuk pelaksanaan perjanjian yang pantas dan patut, boleh mengubah perjanjian sedemikian rupa sehingga pelaksanaan perjanjian memenuhi tuntutan itikad baik.

 

Sekalipun tidak dikatakan dengan kata-kata yang jelas, namun kiranya bisa duga, bahwa dasar yang digunakan untuk membenarkan pendapat Pengadilan adalah Pasa. 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 BW.

 

Ternyata secara umum, dalam perkembangan selanjutnya, Pengadilan makin sering dan makin bebas untuk menggunakan Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 BW untuk menambah, memperluas, mengubah atau membatasi perikatan yang lahir dari perjanjian.[1]

 

Mengingat pendapat dari Pengadilan berbeda-beda, maka kita coba lihat bagaimana pendapat doktrin.

 

Ada yang berpendapat, bahwa dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) BW bisa disimpulkan, bahwa BW menganut perjanjian sebagai suatu -yang dalam Hukum Romawi disebut- contracto bona fides. Dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) BW harus ditafsirkan, bahwa:

 

Debitur tidak terikat pada apa yang oleh kreditur hanya bisa dituntut dengan bertentangan dengan iktikad baik.

 

Dengan itu berarti, bahwa Hakim atas dasar Pasal 1338 ayat (3) BW bisa, atas dasar keadaan yang yang timbul kemudian mengubah, memperluas atau menghapus kewajiban yang secara tegas ditetapkan dalam perjanjian. Kalau dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat (1) BW, maka bisa kita katakan, bahwa:

 

Semua perjanjian mengikat untuk apa yang, berdasarkan apa yang telah disepakati, dituntut oleh iktikad baik.[2]

 

Menurut Meijers, HR telah beberapa kali menggunakan alasan itikad baik untuk membawa -apa yang telah disepakati oleh para pihak- ke dalam batas-batas iktikad baik. Dalam masalah pertentangan antara Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (3) BW, Pasal 1342 BW tidak bisa menjadi hambatan, karena ketentuan itu adalah ketentuan mengenai penafsiran, sedang Pasal 1338 ayat (3) BW mempunyai daya kerja memperluas atau membatasi atas apa yang telah disepakati oleh para pihak, berdasarkan suatu ketentuan hukum objektif yang berdiri sendiri, dan karenanya tidak ada urusannya dengan penafsiran.

 

Perhatikan kata-kata “yang berdiri sendiri”. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) BW baru dilanggar, kalau suatu perjanjian yang dibuat secara sah, secara umum dinyatakan tidak mengikat, tetapi asas itu tidak dilanggar, kalau atas dasar keadaan yang khusus, Hakim tidak melaksanakan seperti yang telah disepakati. Perhatikan kata-kata “secara umum”. Memang semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang, namun segera sesudah itu undang-undang mengatakan: perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.[3] Catatan: Pasal 1374 ayat (3) BW Belanda adalah sama dengan Pasal 1338 ayat (3) BW Indonesia.

 

Dari keputusan perkara kuda pejantan,[4] Pitlo menafsirkan, bahwa memenuhi tuntutan itikad baik pada pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah: Menafsirkan perjanjian sesuai dengan tuntutan kepantasan dan kepatutan.

 

Jadi Hakim harus memutuskan, apakah dalam perkara yang dimajukan kepadanya, kepantasan dan kepatutan menuntut, agar perjanjian ditafsirkan menyimpang dari kata-katanya.

 

Kepantasan dan kepatutan adalah pengertian yang berkaitan dengan ketertiban umum, dan karenanya para pihak tidak bisa menyepakati untuk menyimpanginya. Kepantasan dan kepatutan bisa membawa akibat, bahwa isi perjanjian perlu ditambah (diperluas) di luar kata-katanya, dan menentukan isi perjanjian bertentangan dengan kata-katanya.

 

Pelaksanaan iktikad baik bisa menubah atau menambah isi perjanjian.[5]

 

Rutten berpendapat, bahwa asas yang kaku, yang mengatakan, bahwa perjanjian berlaku bagi para pihak sebagai undang-undang, diperlunak dan mengakui adanya perkecualian, yaitu kalau keadaan yang ada adalah sedemikian rupa, sehingga pihak yang menuntut pelaksanaan apa yang telah disepakati, akan bertindak (bersikap) bertentangan dengan iktikad baik. Dengan itu mau dikatakan, bahwa tidak tertutup kemungkinan, bahwa dalam pelaksanaanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban kontraktual menjadi batal atau diubah.[6]

 

Hartkamp mengemukakan pendapatnya, bahwa kepantasan dan kepatutan merupakan sumber hak dan kewajiban, di samping yang timbul dari perjanjian, undang-undang atau kebiasaan. Asas yang mengatakan, bahwa para pihak wajib untuk berlaku dan bersikap sejalan dengan tuntutan kepantasan dan kepatutan, membawa konsekuensi, bahwa sekalipun pada asasnya orang terikat akan apa yang telah disepakati, namun bisa saja muncul keadaan, yang mengakibatkan orang tidak bisa menuntut pemenuhan apa yang telah disepakati. Dalam peristiwa yang demikian, maka daya kerja kepantasan dan kepatutan diakui, sehingga membawa akibat, bahwa apa yang disepakati dalam perjanjian, menurut ukuran kepantasan dan kepatutan, tidak bisa dibenarkan.[7]

 

Dari apa yang telah disebutkan di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa menurut pendapat para sarjana, tuntutan agar perjanjian dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) BW) mempunyai daya kerja mengubah atau menghapus isi perjanjian.

 

Kita melihat betapa kepantasan dan kepatutan berperan sangat besar dalam pelaksanaan suatu perjanjian.

 

Kesimpulannya: tidak semua perjanjian bisa dan harus dilaksanakan sesuai dengan kata-katanya.

 

Dari apa yang diuraikan di atas, penulis sadar, betapa masih kurangnya penyebutan keputusan Pengadilan Indonesia, untuk bisa menyimpulkan pandangan Pengadilan Indonesia terhadap pelaksanaan Pasal 1388 ayat (3) BW. Semoga tulisan ini memancing para sarjana hukum untuk mencari pendapat Pengadilan kita mengenai masalah tersebut di atas.

 

Demikian penulis akhiri tulisan mengenai : “Pelaksanaan Suatu Perjanjian”, semoga bermanfaat.

 

J. Satrio

 

[1]     J.C.v. Oven, dalam makalah “Overeenkomst en goeder trouw”, dalam Nederlands Juristenblad 1926, hlm. 337.

[2]     Ibid., hlm. 353 dsl.

[3]     E.M. Meijers dalam makalah “De grenzen der toepasselijkheid van art. 1374, 3e lid B.W.”, dimuat dalam WPNR 1926 No. 2923 – 2974, hlm. 37 dsl.

[4]     HR 9 Februari 1923, NJ, 1923, 676.

[5]     A. Pitlo, Het Verbintenissenrechtm naar het Nedelands Burgelijk Wetboek, hlm. 183.

[6]     C. Asser – L.E.H. Rutten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, De algemen leer der overeenkomsten, hlm. 240.

[7]     C. Asser – A.S. Hartkamp, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgelijk Recht, Verbintenissenrecht, Deel II,  Algemene leer der overeenkomsten, hlm. 279 dan 283.

Tags:

Berita Terkait