Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian: Pelaksanaan Perjanjian dengan Iktikad Baik

​​​​​​​Kalau pelaksanaan perjanjian sesuai dengan kata-katanya akan menimbulkan ketidakpantasan dan ketidakpatutan, maka Hakim boleh menafsirkan atau mengubah isi perjanjian sedemikian rupa.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio. Ilustrasi: HGW
J. Satrio. Ilustrasi: HGW

Asas yang mengatakan, bahwa “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik” mau mengatakan, bahwa: Kreditur pada waktu melaksanakan hak-haknya dan debitur pada waktu memenuhi kewajibannya (yang timbul dari perjanjian), harus bertindak (bersikap) dengan mengindahkan (memperhatikan) tuntutan kepantasan dan kepatutan.

 

Apa beda kepantasan dan kepatutan? “Kepantasan” -sebagai terjemahan dari kata “redelijkheid”- berkaitan dengan “nalar” (logika, rede) sedang “kepatutan” -sebagai terjemahan dari “billijkheid”- berkaitan dengan “rasa” keadilan (perasaan atau hati). Jadi maksud syarat “patut” dan “pantas” adalah: harus logis, harus bisa diterima oleh akal sehat dan memenuhi “rasa keadilan”.

 

Jadi, para pihak dalam perjanjian harus melaksanakan perjanjian sebagaimana yang dituntut dalam pergaulan hidup terhadap orang-orang yang baik dan lumrah, tanpa ada pemerasan, tanpa menghalang-halangi lawan janjinya dalam berprestasi, tanpa menyulitkan dan menyebabkan timbulnya ongkos yang tidak perlu pada lawan janjinya.[1]

 

Kata-kata “dalam pergaulan hidup” mengajarkan kepada kita, bahwa dalam menentukan kepantasan dan kepatutan dipakai ukuran pandangan “masyarakat” di mana perjanjian itu akan dilaksanakan dan karenanya dikatakan dipakai ukuran objektif. Di sini ada tuntutan iktikad baik yang objektif.

 

Sesudah itu semua, maka yang perlu untuk dijawab adalah, bagaimana kalau perjanjian dilaksanakan sesuai dengan sepakat perjanjian (sesuai dengan kata-kata dalam perjanjian) akan menimbulkan ketidakpantasan dan ketidakpatutan?

 

Apakah Pengadilan boleh mengubah isi perjanjian, agar pelaksanaannya memenuhi tuntutan kepantasan dan kepatutan?

 

Di sini kita menghadapi pertentangan antara Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (3) B.W. Di satu pihak dikatakan perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang, di lain pihak dikatakan, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan mengingat akan tuntutan kepantasan dan kepatutan.

 

Apakah kalau pelaksanaan sepakat seperti apa adanya akan menimbulkan ketidakpantasan dan ketidakpatutan, Hakim boleh mengubah atau menafsirkan isi perjanjian sedemikian rupa, sehingga memenuhi tuntutan iktikad baik yang objektif?

 

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita lebih baik melihat bagaimana praktik pengadilan ketika menghadapi masalah seperti itu.

 

Suatu hari pengadilan dihadapkan pada perkara, yang pada intinya penggugat telah mengasuransikan kuda pejantan yang bernama Artis de Laboureur terhadap kerugian yang timbul, kalau suatu ketika kuda itu dinyatakannya tidak lagi memenuhi syarat sebagai kuda pejantan.[2] Suatu hari kuda itu betul dinyatakan mengidap cacat, yang mengakibatkan kuda itu dinyatakan tidak memenuhi syarat lagi sebagai kuda pejantan.

 

Penggugat menuntut pembayaran santunan asuransi dari Perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi menolak tuntutan, dengan alasan, bahwa dalam polis telah disepakati, bahwa semua sengketa mengenai asuransi yang bersangkutan akan diselesaikan oleh Dewan Komisaris perusahaan asuransi, yang dalam keputusannya telah menyatakan, bahwa tidak bisa diberikan ganti rugi, karena penggugat tidak mengalami kerugian yang perlu diganti.

 

Ketika masalah itu dibawa ke pengadilan, Rechtbank (pengadilan pertama) telah memutuskan untuk membatalkan keputusan Dewan Komisaris, karena tidak didasarkan atas penyelidikan yang teliti dan telah menganggap tidak perlu mendengar penggugat, sehingga ketentuan dalam perjanjian itu tidak telah dilaksanakan dengan iktikad baik. Jadi menurut Rechtbank cara melaksanakan perjanjian seperti yang disebutkan di atas adalah bukan pelaksanaan perjanjian dengan iktikad baik.

 

Perusahaan asuransi mengajukan banding. Dalam banding Hof (pengadilan banding) telah mempertimbangkan, bahwa memang sebagai ternyata dari polisnya, para pihak menghendaki agar perselisihan sebagai yang terjadi akan diselesaikan oleh Dewan Komisaris perusahaan asuransi. Sekalipun ketentuan polis sebagaimana adanya, memungkinkan diberikannya keputusan oleh pihak yang tidak netral, namun bagaimanapun hal itu telah disepakati oleh para pihak, sehingga mengikat para pihak sebagai undang-undang. Atas dasar itu Hof menganggap, bahwa keputusan Dewan Komisaris tidak bisa dibatalkan oleh Hakim. Jadi menurut Hof perjanjian harus dilaksanakan menurut apa yang telah disepakati.

 

Ketika masalah itu sampai di pengadilan kasasi, HR a.l. telah mempertimbangkan, bahwa Pasal 1338 ayat (3) B.W., dengan menetapkan, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah harus dilaksanakan dengan iktikad baik, mau memberikan suatu patokan (ketentuan), bahwa didalam perjanjian dipersangkakan ada terkandung maksud para pihak, bahwa pelaksanaan apa yang telah disepakati akan terjadi dengan mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan, dan tujuan ketentuan itu adalah agar maksud itu terlaksana (HR 9 Februari 1923, NJ. 1923, 676). Ternyata HR mempersangkakan, bahwa adalah menjadi maksud dari para pihak dalam perjanjian, untuk melaksanakan perjanjian itu secara pantas dan patut.

 

Jadi, untuk menjawab masalah pertentangan antara Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (3) B.W., H.R. mempersangkakan adanya unsur dalam perjanjian, yang disepakati para pihak, yang tidak nampak keluar, yaitu bahwa mereka menghendaki agar perjanjian dilaksanakan dengan mengindahkan tuntutan kepantasan dan kepatutan. Dengan cara berfikir seperti itu, HR terlepas dari himpitan antara Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (3) B.W.

 

Kalau begitu dari keputusan itu bisa kita simpulkan, bahwa: Kalau pelaksanaan perjanjian sesuai dengan kata-katanya akan menimbulkan ketidakpantasan dan ketidakpatutan, maka Hakim boleh menafsirkan atau mengubah isi perjanjian sedemikian rupa (dan ini katanya adalah sesuai dengan kehendak para pihak), agar dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan kepantasan dan kepatutan.

 

Apalagi kalau juga diperhatikan Pasal 1339 B.W., yang pada intinya mau mengatakan, bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, dituntut oleh undang-undang, kebiasaan atau kepatutan.

 

Jadi, ada hal-hal di luar yang dengan tegas disepakati, yang mengikat para pihak dalam perjanjian? Jadi, atas dasar Pasal 1339 B.W. Hakim bisa menyimpulkan adanya kewajiban tertentu pada para pihak, sekalipun tidak secara tegas telah disepakati dalam perjanjian?

 

Jadi, Hakim bisa -atas dasar Pasal 1339 B.W.- dibenarkan untuk menambah  -dengan perkataan lain mengubah- isi perjanjian?

 

J. Satrio

 

[1]     Asser – Rutten, Algemene leer der overeenkomsten, hlm. 230.

[2]     Perkara ini  sudah dimuat dalam J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian, Buku II, hlm. 205.

Tags:

Berita Terkait