Pekerja Kereta Api Mengadu ke DPR
Berita

Pekerja Kereta Api Mengadu ke DPR

Mengadukan sengkarut masalahan outsourcing di BUMN tersebut.

ADY
Bacaan 2 Menit
Direktur Personalia Umum PT KAI Kuncoro (kiri) saat rapat dengar pendapat dengan DPR, Selasa (9/7). Foto: Sgp
Direktur Personalia Umum PT KAI Kuncoro (kiri) saat rapat dengar pendapat dengan DPR, Selasa (9/7). Foto: Sgp

Pekerja outsourcing di PT KAI menyambangi Komisi IX DPR untuk melaporkan masalah ketenagakerjaan yang mereka alami. Menurut Ketua Serikat Pekerja Kereta Api Jabodetabek (SPKAJ), Pupu Saepuloh perselisihan itu menurutnya bermula sejak tahun 2004 dan sudah diterbitkan putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2008 yang intinya memerintahkan agar PT KAI membayar pesangon kepada 112 pekerja yang di-PHK.

Namun, sampai saat ini PT KAI belum menunaikan kewajibannya tersebut. Malah, para pekerja tersebut dipekerjakan kembali dan ditugaskan di PT KAI dengan status pekerja outsourcing. Untuk mencari kepastian hukum, SPKAJ melapor kepada pengawas ketenagakerjaan. Kemudian diterbitkan nota pengawasan yang intinya menyatakan jenis pekerjaan yang di-outsourcing tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. Bagi Pupu, hal tersebut diperkuat karena nota itu diterbitkan lebih dari sekali dengan hasil pemeriksaan yang sama.

Oleh karenanya, Pupu berharap agar Komisi IX mendesak PT KAI untuk mematuhi putusan pengadilan untuk membayar pesangon dan mengalihkan status para pekerja outsourcing menjadi pekerja tetap sesuai hasil nota pengawasan. Parahnya lagi, ketika para pekerja menuntut pemenuhan atas hak-hak itu dan melakukan demonstrasi, mereka malah di-PHK.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatulloh, mengaku sebelumnya sudah menyurati PT KAI dan perusahaan outsourcing yang mempekerjakan para pekerja untuk mencari solusi. Sayangnya, surat tersebut tidak mendapat tanggapan yang memuaskan. Poempida lantas mengusulkan agar persoalan ketenagakerjaan di PT KAI ini dibahas di Panja Outsourcing di BUMN. “Ini masalah kemanusiaan,” ujarnya.

Rekan satu fraksi Poempida di Komisi IX, Sunaryo Adhiwardoyo, menyebut PT KAI seolah sebuah negara dalam negara. Sebab terlihat tidak tunduk pada regulasi ketenagakerjaan. Untuk itu bagi Sunaryo sangat penting PT KAI menerbitkan pernyataan yang tegas untuk tidak melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap pekerja, khususnya yang berstatus outsourcing atau tetap. Pasalnya, Sunaryo khawatir yang menjadi sasaran usai mengikuti RDPU di DPR adalah para pekerja.

“Uang PT KAI itu dari negara, selesaikan masalah yang ada, yang penting pekerja jangan dikorbankan,” tutur Sunaryo.

Sementara anggota komisi IX fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan kontrak kerja yang dibuat antara perusahaan outsourcing dan pekerja PT KAI Commuter Jabodetabek tidak manusiawi. Pasalnya, dalam kontrak kerja itu, selain tidak mengacu peraturan juga minim melindungi pekerja. Misalnya, dalam salah satu klausul menyebut pekerja tidak bisa beralih status menjadi pekerja tetap. Padahal, mengacu peraturan ketenagakerjaan, ketentuan tersebut sudah diatur. Sehingga, kontrak kerja itu harusnya tidak boleh lebih rendah dari peraturan yang berlaku.

“Kalau perjanjian kerjanya tidak sesuai dengan peraturan maka pekerja outsourcing atau kontrak beralih menjadi PKWTT (tetap,-red). Itu bukan kata Oneng, tapi UU Ketenagakerjaan,” seloroh Rieke.

Soal PHK terhadap pekerja PT KAI Commuter Jabodetabek yang melakukan demonstrasi dengan dalih ada kesalahan administratif dalam pemberitahuan aksi tersebut bagi Rieke hal tersebut tidak beralasan. Pasalnya, jika ada kesalahan administratif yang dilakukan SPKAJ atas demonstrasi yang dilakukan, tidak ada satu peraturan perundang-undangan yang menyebut sanksinya adalah PHK. Sekalipun kesalahan administratif itu dinilai perusahaan sebagai mangkir, menurut Rieke sanksinya maksimal adalah pemotongan upah atau tunjangan pekerja.

Tak ketinggalan anggota Komisi IX fraksi PDIP lainnya, Nursuhud, mengaku selama sepuluh tahun menjabat sebagai anggota DPR, persoalan yang dihadapi seperti kasus ketenagakerjaan di PT KAI terus berulang. Ironisnya, penyelesaian yang dilakukan untuk menuntaskan berbagai kasus itu terkadang tidak jelas. Oleh karenanya, Nursuhud berpendapat agar masalah ketenagakerjaan harus dibawa dalam pembahasan yang tingkatnya lebih serius yaitu lewat Pansus. “Masalah ketenagakerjaan itu sangat banyak, lewat Pansus itu bisa lebih efektif menuntaskan kasus,” usulnya.

Menanggapi persoalan tersebut, Dirjen PHI dan Jamsos Kemenakertrans, Ruslan Irianto Simbolon, mengatakan kasus ketenagakerjaan di PT KAI sudah berlangsung lama, hampir tiga tahun. Namun, persoalan itu menurut Irianto dapat diupayakan penyelesaiannya dengan dorongan dari Komisi IX DPR. Secara umum, untuk kasus PHK terhadap 112 orang pekerja yang sudah ada putusan kasasinya, Irianto mengatakan Kemenakertrans sudah menyelesaikan dengan baik sesuai kewenangan. Namun, yang harus dicermati dan dikawal adalah implementasi dari putusan itu.

Soal perselisihan ketenagakerjaan terkait pekerja outsourcing dan kontrak, Irianto melanjutkan, bentuk sanksi yang ada di peraturan perundang-undangan ketika terjadi pelanggaran adalah beralihnya status pekerja menjadi tetap. Jika proses tersebut tidak berjalan sesuai harapan, Irianto mengatakan pihak pekerja dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan hubungan industrial.

Terkait soal outsourcing itu, Irianto mengakui pengawas ketenagakerjaan sudah menerbitkan nota yang isinya menjelaskan secara jelas pelanggaran yang telah dilakukan. “Memang PT KAI dan vendor (perusahaan outsourcing,-red) tidak melaksanakan nota pengawasan yang kami terbitkan,” urainya.

Usai mendapat cecaran anggota Komisi IX DPR dan penegasan dari Kemenakertrans, Direktur Personalia Umum PT KAI, Kuncoro, mengatakan akan mematuhi peraturan dan segera menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain itu Kuncoro juga menjelaskan saat ini PT KAI sedang menyesuaikan praktik ketenagakerjaan yang sedang berjalan dengan Permenakertrans Outsourcing. Oleh karenanya, PT KAI menerbitkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi pekerja kontrak untuk diangkat menjadi tetap. “Jadi tidak semua pekerja kontrak dapat diangkat menjadi tetap,” pungkasnya.

Tags: