PBHI Minta 2 Aturan Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Dicabut
Terbaru

PBHI Minta 2 Aturan Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Dicabut

Karena dinilai sebagai pemanis dan cuci dosa pemerintah dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus dilakukan secara komprehensif.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ketua PBHI Julius Ibrani. Foto: Dokumen pribadi
Ketua PBHI Julius Ibrani. Foto: Dokumen pribadi

Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat  di tanah air menghadapi banyak tantangan. Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu  (Tim PPHAM) telah menyodorkan laporan dan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo. Laporan dan rekomendasi tersebut telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya 2 aturan.

Yakni Inpres No.2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial pelanggaran HAM berat dan Keputusan Presiden (Keppres) No.4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksana Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Sedari awal pembentukan Tim PPHAM mendapat kritik kalangan masyarakat sipil.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, menilai tidak adanya proses seleksi yang terbuka dan transparan serta pemeriksaan terhadap latar belakang serta kapasitas anggota tim yang dibentuk melalui Keppres 4/2023. Akibatnya terjadi konflik kepentingan karena beberapa anggota tim terlibat pelanggaran HAM berat yang berasal dari institusi pelanggar HAM berat. Seperti Polri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Intelijen Negara (BIN), dan lainnya.

“Ini yang sebenarnya menghalangi penyelesaian di level pengungkapan kebenaran (truth seeking), pengadilan HAM (ajudikasi) dan reformasi institusional. Sebaliknya, kebijakan ini memang berniat jahat untuk menghambat penyelesaian yang sebenarnya karena memasukkan nama dan instansi asal Pelanggar HAM,” ujarnya dikonfirmasi, Senin (27/3/2023).

Baca juga:

Menurutnya, Inpres 2/2023 mempertegas absennya persidangan ajudikasi dengan menggunaan frasa ‘dugaan’ sebelum frasa ‘pelanggaran HAM berat’ pada diktum Kedua poin 17 terkait tugas Jaksa Agung dalam Inpres tersebut. Peran Jaksa Agung dalam perkara pelanggaran HAM berat harusnya melakukan penuntutan di pengadilan HAM. Ketentuan ini menegaskan proses persidangan ajudikasi ditiadakan.

Begitu juga diktum Kedua poin 18 dan 19 dimana Presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri melakukan optimalisasi pendidikan dan pelatihan HAM. Padahal persoalan pelanggaran HAM berat bersifat sistematis dan terstruktur. Dengan kata lain, ada kesalahan sistem dan struktur institusional dalam organisasi TNI dan Polri. Misalnya, pendekatan keamanan untuk merespon kebebasan sipil seperti demonstrasi, belum adanya reformasi pengadilan militer, dan lainnya.

Tags:

Berita Terkait