PBH-DPC PERADI Jaksel Gelar Diskusi dan Nobar Film Invisible Hopes
Terbaru

PBH-DPC PERADI Jaksel Gelar Diskusi dan Nobar Film Invisible Hopes

Kegiatan ini merupakan rangkaian kerjasama antara DPC PERADI Jakarta Selatan dengan Lamhoras Production.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
PBH-DPC PERADI Jaksel menggelar diskusi bersama dan nonton film dokumenter berjudul Invisible Hopes, pada Jumat (18/11). Foto: WIL
PBH-DPC PERADI Jaksel menggelar diskusi bersama dan nonton film dokumenter berjudul Invisible Hopes, pada Jumat (18/11). Foto: WIL

Pusat Bantuan Hukum (PBH) - DPC PERADI Jakarta Selatan pada Jumat (18/11) melakukan diskusi bersama dan menggelar nonton film dokumenter berjudul Invisible Hopes. Kegiatan ini merupakan rangkaian kerjasama antara DPC PERADI Jakarta Selatan dengan Lamhoras Production.

“Kegiatan hari ini merupakan salah satu inisiasi DPC PERADI Jakarta Selatan bersama Lamhoras Production untuk membahas mengenai Film Invisible Hopes yang menyajikan kejadian yang sebenarnya di lapangan khususnya di lapas wanita yang saat ini banyak kita hadapi,” ujar Rika Irianti selaku Ketua PBH PERADI Jakarta Selatan.

Pemutaran film dokumenter yang dilaksanakan di Cgv Fx Sudirman ini, menayangkan film Invisible Hopes yang fokus bahasannya mengenai anak bawaan dalam penjara, khususnya seorang anak yang lahir dan besar di penjara karena ibunya seorang narapidana. 

Baca Juga:

Lamtiar Simorangkir selaku sutradara dan produser dari Invisible Hopes berharap, film yang ia garap menjadi sumber informasi untuk masyarakat dan khususnya pemerintah  dalam mencari solusi dan tindak lanjut bagi narapidana wanita hamil terutama anak bawaan di rutan dan lapas.

“Yang paling kami tekankan dari film dokumenter ini adalah bahwa kami ingin rekomendasi dan saran supaya ada komitmen kedepannya untuk langkah tindak lanjut mengenai persoalan narapidana wanita hamil di lapas,” ujarnya.

Ia melanjutkan bahwa persoalan narapidana wanita hamil merupakan persoalan yang kompleks dan besar namun seringkali terabaikan.

“Saya ingin memfokuskan apa yang menjadi temuan saya di lapangan, bahwa persoalan ini besar namun terabaikan. Karena kami telah memulai pergerakan melalui film ini, maka selanjutnya kami  berikan tongkat estafet kepada rekan-rekan advokat untuk melanjutkan perjuangan ini,” tuturnya.

Pengaturan mengenai hak perempuan dalam tahanan sudah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2010 yaitu The United Nations Rules for the Treatment of Women Prisoners and Non Women Offenders atau yang dikenal dengan The Bangkok Rules.

The Bangkok Rules memberikan sejumlah aturan bersama yang harus diberlakukan untuk perempuan normal maupun perempuan dengan kebutuhan khusus yaitu perempuan hamil, perempuan dengan masalah narkoba, dan perempuan disabilitas di dalam tahanan.

Beberapa pengaturan di dalam The Bangkok Rules yaitu, narapidana yang memiliki anak dapat mengasuhnya di dalam lapas sampai anak berusia 2 tahun dan anak tersebut dicatat. Pengaturan tersebut juga membahas mengenai tersedianya fasilitas bagi narapidana yang memiliki anak di dalam lapas seperti ruang khusus menyusui dan ruang ramah anak.

Kemudian tersedia pula ruang sanitasi yang layak untuk memenuhi kebutuhan kebersihan diri, mulai dari ketersediaan air yang cukup, toilet bersih hingga tersedianya fasilitas kesehatan untuk seluruh narapidana termasuk anak yang dibawa.

Seluruh aturan tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah karena konstitusi sudah memberikan jaminan HAM untuk seluruh warga negaranya. Namun hal inilah yang membuat getir Lamtiar karena pada praktiknya di lapangan begitu jauh dari teori regulasi yang ada.

“Saya menilai negara belum siap dalam menampung narapidana wanita hamil beserta anak yang dilahirkannya di lapas. Ketika negara menahan seorang wanita hamil, maka secara tidak langsung negara sudah harus siap untuk menanggungnya,” tutur Lamtiar.

Lamtiar juga menyayangkan banyaknya regulasi yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan nyatanya belum mampu untuk mengatur lebih lanjut persoalan narapidana wanita hamil dan anak yang dilahirkannya di lapas.

“Kami berharap ada regulasi yang secara spesifik untuk penanganan narapidana wanita hamil khususnya anak yang lahir di lapas,” katanya.

Film yang meraih juara dalam ajang penghargaan Festival Film Indonesia dengan kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik ini diharapkan Lamtiar menghasilkan solusi yang baik dari diskusi para advokat.

“Kami membuat film ini semata-mata bukan untuk mencari kesalahan dari pihak tertentu, tetapi kami berharap kita sama-sama dapat merangkul negara dan masyarakat terhadap isu-isu marginal khususnya perempuan dan anak,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait