Patrialis: Jangan Takut Dikriminalisasi Kalau Memimpin KPK
Berita

Patrialis: Jangan Takut Dikriminalisasi Kalau Memimpin KPK

Hingga saat ini advokat dan PNS masih bersaing memperebutkan kursi calon pimpinan KPK.

Inu/Fat
Bacaan 2 Menit
Menkumham Patrialis Akbar jangan takut dikriminalisasi kalau <br> memimpin KPK. Foto: Sgp
Menkumham Patrialis Akbar jangan takut dikriminalisasi kalau <br> memimpin KPK. Foto: Sgp

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, berharap orang-orang berintegritas mau mencalonkan diri sebagai kandidat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Calon tidak perlu takut dikriminalisasi jika kelak terpilih memimpin Komisi ini. Pengalaman yang dialami Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua komisioner KPK, harus dijadikan pendorong ke arah yang lebih baik. Kalau calon yang mendaftar berintegritas baik, semangat pemberantasan korupsinya akan lebih kuat. “Justru orang baik akan lebih bersemangat. Karena orang baik harus muncul,” kata Patrialis di Jakarta, Senin (07/6).

 

Pernyataan Menteri Hukum dan HAM itu seolah menjawab kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap para calon yang sudah mendaftar. Ada beberapa calon yang dipertanyakan integritasnya dalam pemberantasan korupsi, terutama kalangan pengacara. Beberapa di antaranya dikenal sebagai advokat yang ‘berseberangan’ dengan KPK, antara lain dengan cara mengajukan praperadilan atas penangkapan dan penahanan yang dilakukan Komisi.  

 

Hingga hari pertama pekan kedua pendaftaran, sudah ada 229 peminat yang masuk ke Panitia Seleksi KPK. Dari jumlah itu baru sekitar 54 orang yang sudah melengkapi berkas. Advokat dan pegawai negeri sipil (PNS), termasuk pensiunan, mendominasi asal muasal calon. Menurut Achmad Ubbe, Sekretaris Panitia Seleksi, sudah 19 calon berlatar belakang advokat mengajukan berkas lamaran. Jumlah yang sama berasal dari PNS dan pensiunan PNS. “Itu yang dinyatakan berkasnya lengkap,” kata Ubbe.

 

Banyaknya jumlah pengacara yang mendaftar, di satu sisi, mendapat apresiasi. “Kita senang banyak sekali pengacara,” kata Patrialis. Tetapi di sisi lain, masuknya pengacara, terutama mereka yang selama ini banyak membela terdakwa kasus korupsi, cukup mengkhawatirkan.

 

Perdebatan soal ini misalnya muncul ketika Farhat Abbas dan OC Kaligis mendaftar. Kontroversi muncul di masyarakat. Apalagi dalam pernyataan terbuka, Farhat mengecam Bibit dan Chandra. Kaligis malah sudah menerbitkan buku “Korupsi Bibit-Chandra”. Farhat dan Kaligis sejatinya terhalang persyaratan usia. Tetapi masalah usia ini masih dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

 

Pernyataan Patrliasi keluar di tengah semakin berbelit-belitnya penanganan kasus dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Pengadilan Tinggi Jakarta sudah menolak banding jaksa atas putusan praperadilan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Bibit-Chandra. Perkara yang melilit Bibit dan Chandra ditengarai sebagai bentuk kriminalisasi dan rekayasa kayus. Kasus ini dipercaya punya andil memunculkan rasa khawatir sebagian orang untuk mendaftarkan diri. Termasuk mereka yang punya jejak rekam dan integritas bagus.

 

Jemput bola

Agar calon berintegritas dan kredibilitas mau mencalonkan diri, kata Patrialis, Panitia Seleksi menerapkan kebijakan jemput bola. Panitia sudah mengirimkan surat permintaan ke Forum Rektor, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung. Surat itu bermaksud mengundang calon-calon terbaik dari institusi tersebut.

 

Kebijakan jemput bola bukan tanpa hambatan. Biaya perjalanan misalnya. Anggota Panitia Seleksi bolak balik Yogyakarta – Jakarta untuk mengadakan rapat. Menurut Patrialis, selama ini Panitia Seleksi terpaksa menggunakan anggaran Kementerian Hukum dan HAM karena Kementerian Keuangan belum menyetujui usulan anggaran Panitia. Aktivitas seleksi dikalkulasi menghabiskan biaya hingga Rp2,5 miliar.

 

Komisi Yudisial

Lain dengan Pansel KPK, pansel KY yang sudah memasuki pekan ketiga masa pendaftaran hanya menerima 22 pelamar dengan berkas lengkap. Para peminat komisioner KY yang menyerbu sekretariat pansel lebih banyak dari kalangan akademisi dengan strata pendidikan S3. "Memang lebih banyak yang melamar dari kalangan akademisi," terang Sekretaris Pansel KY, Tadjum.

 

Para akademisi tersebut berasal dari Perguruan Tinggi yang tersebar di Jawa, Sulawesi. Sedangkan para advokat menjadi pendaftar kedua terbanyak yang ingin menggantikan Busyro Muqodas dan kawan-kawan pada Agustus 2010. Tetapi besar kemungkinan masa jabatan para komisioner Komisi Yudisial akan diperpanjang mengingat waktu yang tersedia untuk proses seleksi sangat mepet.

Tags: