Pasca Putusan MK: Masih Adakah Organisasi Berdasarkan UU Advokat dan SKMA?
Kolom

Pasca Putusan MK: Masih Adakah Organisasi Berdasarkan UU Advokat dan SKMA?

Perlu keberanian untuk mengalahkan diri sendiri, melepaskan ego, kepentingan diri maupun lembaga demi menciptakan pondasi tatanan hukum yang adil bertanggung jawab bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Irwan Hadiwinata. Foto: Istimewa
Irwan Hadiwinata. Foto: Istimewa

Kita ketahui bersama pada mulanya ada organisasi profesi advokat bernama Peradin, lalu timbul ada Pusbadhi, LBH Kosgoro dll, dengan segala riaknya lalu terbentuknya organisasi yang dicitakan yaitu organisasi wadah tunggal Ikadin. Akan tetapi kemudian dengan segala fenomena terbentuk AAI, IPHI, SPI, HAPI, HKHPM, AKHI, APSI.

 

Saya mau tegaskan di sini adalah semua “organisasi advokat” tersebut sesungguhnya adalah merupakan “Organisasi Profesi Advokat”, di mana berdiri dengan tujuan intinya antara lain:

  1. Untuk menghimpun anggotanya yang telah mempunyai izin profesi baik sebagai advokat pengacara maupun konsultan hukum;
  2. Untuk melindungi segenap anggotanya di dalam menjalani profesinya;
  3. Untuk meningkatkan pengetahuan berkelanjutan yang selalu berkembang serta meningkatkan profesionalisme segenap anggotanya;

 

Sangat pasti pada saat mula didirikannya semua organisasi profesi advokat tersebut tidak bermaksud, apalagi mempunyai wewenang untuk:

  1. Melakukan pengangkatan advokat;
  2. Mengadakan pendidikan khusus profesi advokat untuk tujuan mengangkat advokat;
  3. Melakukan ujian profesi advokat untuk tujuan mengangkat advokat;

 

Karena, memang saat itu yang mempunyai wewenang mengangkat pengacara praktek dan advokat adalah sebagai berikut:

  1. Mengangkat pengacara praktek adalah wewenang Ketua Pengadilan Tinggi tempat domisili hukumnya yang bersangkutan;
  2. Mengangkat advokat adalah wewenang Menteri Kehakiman - Menkumham  RI atas rekomendasi MA RI yang diajukan melalui Pengadilan Tinggi setempat dengan segala persyaratannya;
  3. Setelah mendapat Surat Keputusan Pengangkatan Advokat dari Menteri Kehakiman RI /MenKumHam RI, agar dapat menjalani profesinya, advokat tersebut melaksanakan sumpah/janji advokat di hadapan Ketua PT wilayah domisili advokat.

 

Sangat pasti dalam AD/ART semua organisasi profesi advokat, pengacara, konsultan hukum tersebut, tidak pernah mencantumkan dalam tujuan perkumpulan atau organisasinya; untuk melaksanakan PKPA, ujian advokat, apalagi menyatakan berhak untuk mengangkat advokat.

 

Alasannya karena memang organisasi tersebut adalah suatu organisasi profesi (yaitu perkumpulan para advokat-pengacara-penasihat hukum-konsultan hukum) yang tidak punya kewenangan sebagai organ negara.

 

Barulah kemudian dengan perkembangannya delapan organisasi profesi tersebut (Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI, HKHPM, AKHI, APSI, bersepakat dan atas perintah UU 18/2003 mendirikan organisasi advokat dengan nama Perhimpunan Advokat Indonesia/Peradi serta bersama sama memberlakukan menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia).

 

Tugas delapan organisasi profesi sebagai pendiri selesai sejak 2 tahun UU Advokat berlaku dan telah didirikannya Peradi, karena semua kewenangan organisasi dijalankan oleh Peradi. (Pasal 32 ayat (4) UU Advokat)

 

Pertimbangan Majelis dalam Putusan MKRI No 014/PUU/IV/2006 menyatakan pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat yang juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.

 

Organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam UU 18/2003 (vide pasal 2 (1), 28 (1)  telah dinyatakan sebagai organ negara dalam putusan MKRI.

 

SKMA 073

SKMA No. 073/2019 harus dibaca secara letterlijk yaitu sebagai surat (biasa) Ketua Mahkamah Agung RI kepada seluruh Pengadilan Tinggi, sehingga jangan mensinonimkan ataupun membacanya sebagai suatu Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Jika dilihat secara tata urutan peraturan perundangan serta telusuri produk-produk MA sebagai produk judikatif, sehingga kalaupun secara awam diartikan sebagai Surat Keputusan (quodnon), maka tetap saja kewenangannya hanyalah menyangkut masalah masalah peradilan, dan dia tidak duduk di atas kursinya pembuat UU dan menjalankan law making, akan tetapi dia hanya menjalankan “rule making” saja.

 

Sehingga, sangat tepat putusan Mahkamah Konstitusi RI yang tegas menyatakan dalam salah satu pertimbangannya, bahwa SKMA tersebut tidak termasuk peraturan dalam tata urutan peraturan perundangan. Dengan kata lain SKMA tersebut adalah tidak dimaksud untuk menggantikan peraturan pelaksanaan UU ataupun peraturan pemerintah. Apalagi untuk melangkahi dan meniadakan pasal-pasal dalam UU 18/2003.

 

Sudah seharusnya SKMA 073 diartikan sebagai surat internal Ketua MA kepada para Ketua PT, untuk mempermudah pelaksanakan pengajuan sumpah/janji advokat yang waktu itu telah banyak menunggu. Akan tetapi kalimatnya hanya setiap organisasi advokat boleh mengajukan sumpah/janji advokat kepada pengadilan tinggi dan tidak ada kalimat setiap organisasi dimaksud melaksanakan pengangkatan advokat terlebih dahulu.

 

UU Advokat secara tegas memberi syarat secara limitatif bahwa para calon advokat tersebut terlebih dahulu harus memenuhi syarat pasal 2, 3 UU Advokat. Sarjana yang berlatar belakang pendidikan hukum yang telah mengikuti PKPA-UPA-Magang dan harus diangkat terlebih dahulu oleh organisasi advokat dalam hal ini adalah Peradi.

 

Kata kalimat organisasi advokat yang dimaksud dalam SKMA RI harus diartikan sebagai organisasi profesi (baik organisasi profesi pendiri Peradi yang tugasnya sudah selesai maupun badan hukum perdata dengan nama bermacam perkumpulan advokat yang saat ini tercatat pada DepKumHAM RI sebanyak 30 lebih).

 

Sehingga kalaupun ingin berkiprah seharusnya mereka tugasnya hanya menyediakan  jasa atau memfasilitasi para advokat yang telah diangkat Peradi secara sah sesuai UU 18/2003 ditampung untuk diajukan sumpah/janji para advokat ke hadapan wilayah PT domisili setempatnya.

 

Pertanyaan bagi kita semua adalah setelah membaca uraian tulisan di atas;

  1. Apakah mereka punya kewenangan untuk melaksanakan PKPA dan ujian serta pengangkatan yang dimaksud UU Advokat?
  2. Apakah melaksanakan suatu kewenangan yang tidak diberikan kewenangannya sebagai dimaksud pasal 2 dan 3 UU Advokat dapat dinyatakan batal demi hukum?

 

Bagaimana dengan pemberlakuan Kode Etik Advokat-nya, sedangkan badan perkumpulan perdata tersebut tidak pernah menandatangani Kode Etik Advokat Indonesia. Ke mana apabila para justitiabellen ingin mengadukan pelanggaran Kode Etik apabila klien merasa dirugikan dalam penanganan masalah hukumnya.

 

Pada tanggal 28 Nopember 2019, Mahkamah Konstitusi RI dalam Pertimbangan Putusan No 35/2018 menyatakan sebagai berikut:

  1. Bahwa persoalan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat sesungguhnya telah selesai dan telah dipertimbangkan secara tegas oleh Mahkamah, yakni Peradi yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006], yang memiliki wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat untuk menjalankan 8 (delapan) kewenangan organisasi;
  2. Bahwa berkaitan dengan organisasi-organisasi advokat lain (harus dibaca sebagai badan perkumpulan perdata organisasi profesi advokat) yang secara de facto saat ini ada, hal tersebut tidak dapat dilarang mengingat konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.  

 

Tetapi, putusan itu harus dibaca, organisasi-organisasi profesi advokat tersebut tidak mempunyai kewenangan untuk menjalankan 8 jenis kewenangan sebagaimana diuraikan pada butir angka (1) di atas. Hal tersebut telah secara tegas dipertimbangkan sebagai pendirian Mahkamah dalam putusannya yang berkaitan dengan organisasi advokat yang dapat menjalankan 8 (delapan) kewenangan dimaksud. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011)

 

Penafsiran hukum yang keliru atas Surat Ketua Mahkamah Agung RI No 073 tersebut, sangat merusak tatanan hukum secara umum dan khususnya tentang pengertian apa yang dimaksud dengan badan hukum perkumpulan perdata, badan hukum organisasi kemasyarakan serta tata urutan peraturan perundangan. Hal ini karena fakta yang terjadi saat ini proses seorang menjadi advokat ada 2 pijakan yang dipakai, yaitu calon yang diangkat sebagai advokat yang mengikuti proses dan persyaratan sesuai  UU 18/ 2003 melalui organisasi advokat sebagai organ negara yaitu Peradi.

 

Kedua, calon yang diurus sebagai advokat (tidak jelas apakah diadakan pengangkatan advokat terlebih dahulu padahal bukan kewenangannya) oleh suatu perkumpulan perdata yang menamakan diri sebagai organisasi profesi advokat berdasarkan Akta Pendirian Badan Hukum Perkumpulan perdata biasa, dengan pijakan dan euforia Surat Ketua Mahkamah Agung RI No 073/ 2015. (yaitu Surat Internal KMA kepada KPT seluruh Indonesia tentang pelaksanaan sumpah advokat boleh diajukan oleh semua organisasi profesi, tidak terurai kalimat pengangkatan advokat di dalamnya).

 

Kesimpulan

Advokat adalah sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangan, sehingga negara harus turun tangan membenahi kewibawaan hukum dan peraturan perundangan RI karena advokat sebagai penegak hukum juga mempunyai tugas turut dalam pembangunan hukum di Indonesia.

 

Sebagaimana telah tegas dipertimbangkan oleh Putusan MKRI No 035/2018 tertanggal 28 Nopember 2019 yang intinya menyatakan bahwa Peradi sebagai organisasi advokat yang mempunyai 8 Kewenangan yang dijamin oleh UU Advokat, maka sudah saatnya dan sekarang juga Mahkamah Agung RI mencabut kembali  atau setidaknya memberi pengertian bahwa maksud Surat Ketua Mahkamah Agung RI No 073/2015.

 

Karena kewenangan melaksanakan pengangkatan advokat termasuk persyaratannya adalah organisasi advokat yaitu Peradi dan selama belum ada UU yang baru maka ketentuan tentang advokat saat ini hanya diatur oleh UU 18/2003.

 

Pada akhirnya semua uraian sampai kesimpulan diperlukan keberanian kita bersama untuk mengalahkan diri sendiri, melepaskan ego, kepentingan diri maupun lembaga demi menciptakan pondasi tatanan hukum yang adil bertanggung jawab bagi bangsa dan negara Republik Indonesia.

 

*)Irwan Hadiwinata, S.H., Sp.N., M.H. Advokat sejak Tahun 1984. Ketua Bidang Pengangkatan Advokat DPN Peradi.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Perhimpunan Advokat Indonesia.

Tags:

Berita Terkait