Pasca Putusan MA, KPU Disarankan Segera Revisi Aturan Larangan Mantan Napi Nyaleg
Berita

Pasca Putusan MA, KPU Disarankan Segera Revisi Aturan Larangan Mantan Napi Nyaleg

Menjadi kepastian hukum bagi para calon mantan narapidana yang maju daam pencalegan. Bawaslu pun mesti mengawal putusan Mahkamah Agung agar KPU menjalani putusan tersebut.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Foto: RES
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU). Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) sudah memutus pengajuan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. MA memutuskan mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dalam pemilihan umum.

 

Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria berpandangan KPU mesti mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan melakukan revisi terhadap Peraturan KPU 20/2018. Menurutnya, aturan yang dapat mencalonkan diri dalam pencalegan sudah diatur gamblang dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. 

 

Mahkamah Agung dalam putusannya dipandang Riza sudah sesuai dengan UU Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi soal bolehnya mantan narapidana yang maju dalam pencalegan di Pemilihan Umum. Putusan Mahkamah Konstitusi, kata Riza, mendasarkan pada persoalan keadilan, hak asasi manusia dan konstitusi.

 

“Ya memang harus merevisi Peraturan KPU 20/2018 kalau menurut ketentuan. Masa orang yang sudah dihukum lagi,” ujarnya dihubungi hukumonline, Sabtu (15/9).

 

Menurutnya, putusan Mahkamah Agung atas pengujian peraturan bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, tidak terdapat upaya banding maupun lainnya. Jalan yang mesti ditempuh hanyalah dengan melakukan revisi terhadap PKPU tersebut, termasuk ketika nantinya dalam proses daftar calon tetap, KPU tak boleh mencoret nama-nama calon yang memiliki latar belakang narapidana, kasus korupsi misalnya.

 

“Jadi KPU harus mempelajari, setelah itu Peraturan KPU harus direvisi, kemudian nanti harus menyesuaikan,” ujarnya.

 

Riza berpendapat, prinsip yang mesti dipegang yakni tetap mendukung pemberantasan korupsi, apalagi dalam rangka mendapatkan calon wakil rakyat yang berkualitas. Namun tetap tidak diperbolehkan hak seseorang maju dalam pencalegan, kendati mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman, plus mengumumkan ke publik perihal statusnya.

 

Anggota Komisi II Firman Subagyo menilai putusan Mahkamah Agung sudah tepat. Menurutnya, putusan tesebut mesti dihormati dan dipatuhi oleh semua penyelenggara pemilu, khususnya KPU sebagai pihak yang membuat aturan pelarangan terhadap para mantan narapidana korupsi maju dalam pencalegan.

 

Bagi Firman, putusan MA tersebut menjadi jalan atas kebuntuan akibat KPU, Bawaslu, DPR dan pemerintah keukeuh dengan argumentasinya masing-masing. Karena itulah mendekati pengumuman daftar calon tetap (DCT) yang akan diumumkan beberapa hari ke depan, KPU mesti mentaati putusan Mahkamah Agung tersebut. “Keputusan ini sudah sepatutnya harus dipatuhi oleh KPU,” ujarnya.

 

KPU mestinya dapat segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung dengan melakukan revisi terhadap Peraturan KPU 20/2018. Sebab dengan begitu, pelarangan terhadap pencalegan mesti direvisi dengan membolehkan para mantan napi yang akan maju dalam pencalegan dengan syarat sebagaimana tertuang dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

 

(Baca juga: MA Putuskan Mantan Narapidana Korupsi Boleh Nyaleg)

 

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga pengawas atas berjalannya penyelenggara Pemilu mesti mengawal putusan tersebut. Tujuannya, supaya ke depan tidak lagi terdapat preseden serupa yang menimbullkan kegaduhan. KPU pun sedianya mesti membuat surat edaran ke masing-masing partai politik dengan tetap tidak mencalonkan mantan narapidana korupsi untuk kembali dicalonkan menjadi caleg.

 

Dengan begitu, KPU dan publik dapat melihat respons partai apakah tetap mencalonkan kadernya berlatang belakang mantan narapidana, atau sebaliknya. “Kita beri kewenangan KPU untuk mengumumkan ke publik secara luas bila ada parpol yang tetap mancatumkan/mengusulkan mantan narapidana menjadi caleg dan persoalkan eks napi korupsi dicalonkan kembali atau tidak tergantung parpol,” ujarnya.

 

Terpisah, pengamat hukum tata negara Universitas Bung Karno, Yudi Anton Rikmadani berpandangan KPU tak boleh mangkir terhadap putusan Mahkamah Agung. Menurutnya, tak ada celah apapun bagi KPU untuk menghindar dari putusan Mahkamah Agung. Melalui putusan Mahkamah Agung, menjadi kepastian hukum perihal boleh tidaknya mantan napi maju dalam pencalegan.

 

“Sehingga bagi para caleg eks koruptor sudah jelas hak-haknya dilindungi oleh hukum,” ujarnya melalui keterangan tertulis.

 

Menurutnya, meski diperbolehkan maju dalam pencalegan, toh para calon yang berlatarbelakang mantan napi mesti mengumumkan ke publik, sebagaimana Pasal 240 huruf g UU Pemilu. Terpenting, kata Yudi, semua pihak mesti menghormati putusan Mahkamah Agung. “Karena itu bagian dari menghormati peradilan,” ujarnya.

 

Anggota Komisi II Achmad Baidowi mengaku sudah mengingatkan KPU agar tidak membuat aturan yang bertentangan dengan UU di atasnya, khususunya Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 tentang Pemilu. Menurutnya, setelah ada putusan Mahkamah Agung ini maka KPU tak boleh lagi mangkir dengan membolehkan mantan narapidana maju dalam pencalegan.

 

Sebagai penyelenggara Pemilu, kata Achmad, KPU mesti tunduk dan patuh terhadap UU, termasuk membolehkan mantan narapidana maju dalam pencalegan dengan syarat sebagaimana tertuang dalam UU Pemilu. Terlebih, beberapa putusan Bawaslu yang mengabulkan permohonan para pemohon maju dalam pencalegan.

 

“KPU jangan lagi bermain-main di wilayah area abu-abu dan berdalih bahwa mereka sudah mundur atau masa sudah lewat. Di komisi II itu yang kami ingatkan kepada KPU, tapi ternyata mereka ngeyel dan agak genit bahkan putusan Bawaslu yang wajib dilaksanakan menurut UU juga diabaikannya,” ujarnya.

 

Achmad berpandangan eksekusi terhadap putusan Mahkamah Agung mesti segera dilakukan. Selain merevisi Peraturan KPU 20/2018, KPU mesti segera memproses sejumlah nama yang bakal dicoret untuk kembali masuk dalam DCT. Sebaliknya bila menungu 90 hari, dengan kata lain sudah melewati masa DCT yang rencananya bakal diumumkan pada 20 September mendatang.

 

“Maka akan banyak yang jadi korban secara konstitusional. Sudah ada dua putusan yakni putusan Bawaslu dan putusan Mahkamah Agung. KPU harus merevisi Peraturan KPU karena mau bertahan pun percuma­. Toh ketentuan tesebut sudah dicabut oleh Mahkamah Agung. Ini perintah putusan lembaga hukum, bukan soal pencitraan,” pungkasnya.

 

Gelar Pleno Bahas Putusan MA

Komisioner KPU RI Viryan Azis mengatakan lembaganya akan segera menggelar Rapat Pleno untuk membahas Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota.

 

"Ada beberapa langkah yang harus diambil sehingga tidak bisa langsung ditentukan, dan KPU RI perlu lakukan Rapat Pleno," kata Viryan seperti dilansir Antara dalam diskusi bertajuk "DPT Bersih, Selamatkan Hak Pilih" di Kantor KPU, Jakarta, Sabtu (15/9).

 

Namun menurut dia, institusinya belum memastikan jadwal rapat pleno tersebut dan hingga saat ini KPU belum menerima salinan Putusan MA tersebut dan baru mendapatkan informasi berdasarkan pemberitaan media massa.

 

Dia mengatakan KPU sangat hati-hati mengambil kebijakan paska Putusan MA itu karena sifatnya sensitif meskipun ingin segera menindaklanjutinya. "Kami tidak ingin ambil kebijakan lalu dikritik, kami sangat tertib," ujarnya.

 

Menurut dia, KPU akan mempelajari dan membahas Putusan MA itu dalam Rapat Pleno sebelum mengambil keputusan. Dia menjelaskan Rapat Pleno juga akan membahas mekanisme perubahan Peraturan KPU, khususnya Peraturan KPU No.20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif.

 

Viryan mengatakan mekanisme perubahan PKPU itu biasanya dilakukan dengan uji publik, Rapat Dengar Pendapat agar tidak ada kekeliruan seperti yang lalu. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait