Pasca Putusan MA, Aturan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Harus Dievaluasi
Berita

Pasca Putusan MA, Aturan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Harus Dievaluasi

Dengan adanya putusan MA, Perpres tentang Jaminan Kesehatan tidak memiliki kekuatan serta kepastian hukum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan pada Senin (9/3) untuk mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020.

 

MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) yang telah berlaku sejak 1 Januari 2020 seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019.

 

Pasal itu memuat rincian kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100 persen. Dengan rincian, iuran PBPU dan BP untuk Kelas III dari Rp25.500 menjadi Rp42.000. Kemudian peserta Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 dan peserta Kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp160.000.

 

Dikabulkannya permohonan Hak Uji Materiil yang dimohonkan oleh Komunitas Peduli Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mendapat apresiasi dari berbagai pihak, khususnya kalangan profesi hukum. Anggota Tim Advokasi Amicus dan Komunitas Peduli BPJS Kesehatan, Johan Imanuel, menyatakan presiden sebagai termohon harus segera melaksanakan putusan MA tersebut.

 

“Melalui Putusan MA No.7P/HUM/2020 yang berasal dari Permohonan Hak Uji Materiil dimohonkan oleh Komunitas Peduli Cuci Darah Indonesia (KPCDI) terhadap Kenaikan Iuran BPJS kesehatan patut diapresiasi. Oleh karenanya termohon dalam perkara aquo dapat segera melaksanakan Putusan MA RI tersebut,” jelas Johan, Selasa (10/3).

 

Perpres 75/2019

Pasal 34:

  1. Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
  1. Rp42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III;
  2. Rp110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
  3. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
  1. Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

 

Dia menjelaskan permohonan Hak Uji Materiil merupakan Hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, khususnya Pasal 31 A.

 

Menurutnya, permohonan Hak Uji Materiil yang diajukan oleh KPCDI berdasarkan informasi dari website resmi Mahkamah Agung, Info Perkara dicantumkan Amar Putusan adalah Dikabulkan Sebagian. Sehingga Putusan MA RI tersebut bersifat Final dan Mengikat.

 

(Baca: Pemerintah Diminta Laksanakan Putusan Pembatalan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)

 

Johan menambahkan bahwa putusan MA RI No 7P/HUM/2020 wajib dipatuhi termohon karena berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2011, Pasal 8 ayat (2) dinyatakan apabila dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

 

“Sehingga Amar Putusan tersebut secara otomatis memerintahkan Presiden selaku Pejabat (Termohon) untuk membatalkan Perpres 75/2019 perihal kenaikan iuran BPJS yang dinilai cacat hukum oleh MA, maka Pepres 75/2019 tidak memiliki kekuatan serta kepastian hukum,” jelas Johan.

 

Sementara itu, anggota Tim Adviokasi Amicus lainnya, Indra Rusmi menambahkan hal terpenting dari putusan ini yaitu menyarankan Presiden RI untuk menghormati dan melaksanakan Putusan MA RI No 7P/HUM/2019. Menurutnya, presiden perlu mengambil langkah hukum melalui kebijakan terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan meninjau kembali dari perhitungan kenaikan iuran secara realistis.

 

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan dalam aspek penyusunan perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dengan peraturan lainya hal ini agar menciptakan asas kepastian hukum dalam menjalankan suatu peraturan yang berlaku.

 

Sebelumnya, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBPU dan BP tidak lagi memiliki kekuatan hukum setelah putusan MA tersebut.

 

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pencuci Darah Indonesia dan menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menolak permohonan pemohon untuk selebihnya," kata Andi, Senin(9/3).

 

Meski demikian, saat ditanya dasar pertimbangan membatalkan aturan itu, Andi mengaku belum mengetahui salinan putusannya karena belum dipublikasi dalam laman direktorat putusan MA.

 

Sementara itu, Kuasa Hukum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Rusdianto Matulatuwa merasa bersyukur atas dibatalkannya kenaikan iuran BPJS oleh MA. Sebab, keputusan menaikkan iuran BPJS itu adalah kebijakan yang sulit diubah.Tapi, pihaknya berpikir saat itu bahwa kenaikan BPJS memang melanggar kaidah-kaidah di BPJS Kesehatan itu sendiri.

 

“Dengan dibatalkannya iuran bulanan BPJS dalam PP No. 75 Tahun 2019 ini, berarti kembali pada ketentuan tarif iuran sebelumnya. Jangan lagi pemerintah menunda-nunda pelaksanaan putusan MA ini. Segeralah secepatnya dilaksanakan putusan ini,” kata Rusdi saat dihubungi, Senin (9/3).

 

Dia menjelaskan pemohon sudah melakukan prosedur hukum yang berlaku. Dia meminta pemerintah jangan melakukan intrik-intrik untuk tidak melaksanakan putusan MA ini karena KPCDI sangat terbebani dengan iuran ini dan mereka harus tetap melakukan cuci darah.

 

Dalam dalil permohonannya, Rusdianto Matulatuwa menyatakan pasien cuci darah dan ginjal umumnya warga negara yang perekonomiannya menengah ke bawah (peserta BPJS mandiri) yang belum terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sebab, selama hidupnya sudah bertahun-tahun mereka tidak produktif untuk mencari nafkah.

 

“Aturan ini sangat memberatkan, kami menganggap Perpres ini perlu dievaluasi lagi dan dibatalkan,” kata Rusdianto.

 

Tags:

Berita Terkait