Pasal 'Primadona' untuk Menjerat Koruptor
Berita

Pasal 'Primadona' untuk Menjerat Koruptor

Tahun 2015, 294 terdakwa dijerat Pasal 3, dan 97 terdakwa dijerat Pasal 2 UU Tipikor

ADY
Bacaan 2 Menit
ICW. Foto: RES
ICW. Foto: RES
Dalam perkara korupsi ternyata Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat sering digunakan dan terbukti di pengadilan. Itu terlihat dari hasil pemantauan ICW tahun 2015 terhadap 524 perkara korupsi dengan 564 terdakwa yang telah diputus pengadilan. Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar, menyebut dari 564 terdakwa sebanyak 294 terdakwa di terbukti melanggar Pasal 3, dan 97 terdakwa melanggar Pasal 2 UU Tipikor.

Penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor itu diyakini berdampak pada rendahnya penghukuman terhadap terdakwa kasus korupsi. Tahun 2015 rata-rata vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor adalah 2 tahun 2 bulan. Aradila menduga ini disebabkan hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (4 tahun) dan Pasal 3 (1 tahun).

Rendahnya vonis itu berkaitan juga dengan tuntutan yang diajukan  penuntut umum yang cenderung menggunakan Pasal 3 dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun. Bagi Aradila, penggunaan pasal itu bukan hal yang keliru jika aktor yang dijerat itu berasal dari institusi pemerintahan atau lembaga pemerintahan lainnya. Konstruksi Pasal 3 UU Tipikor menyasar penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan dalam jabatan. Masalahnya, penuntut umum cenderung menuntut hukuman paling ringan tanpa perhitungan yang tepat. Padahal, kejaksaan sudah punya pedoman penuntutan perkara korupsi.

“Tuntutan jaksa itu seringkali antara ancaman minimal Pasal 2 (4 tahun) dan Pasal 3 (1 tahun). Tahun 2015 tuntutan jaksa paling banyak 1,5 tahun (18 bulan),” kata Aradila kepada hukumonline di kantor ICW di Jakarta, Rabu (07/4).

Menurut Aradila jika tuntutan yang diajukan rendah, sudah lazim putusannya tidak melebihi tuntutan. Sangat jarang hakim tingkat pertama memutus lebih dari tuntutan jaksa.

Selain itu disparitas tuntutan masih menjadi masalah, misalnya perkara No.24/PID/TPK/2015/PT.DKI dengan terdakwa Didit Hanindipto dikenakan Pasal 3 UU Tipikor dituntut 3 tahun, kerugian negara Rp33 milyar. Dalam perkara No.27/PID/TPK/2015/PT.DKI dengan terdakwa Yoyo Sulaeman dikenakan Pasal 3 UU Tipikor dituntut 13 tahun, kerugian negara Rp22 milyar.

Ada juga masalah disparitas putusan. Dalam perkara No.34/PID.SUSTTPK/2015, majelis hakim PN Palembang menjatuhkan vonis 1 tahun kepada Herzardani dalam perkara dengan kerugian negara Rp10.542.000. Sebaliknya, dalam perkara No.5/PID.SUSTTPK/2015, majelis hakim PN Bengkulu memvonis Andi Reman/Hari Subagyo 1 tahun dengan kerugian negara Rp6.335.412.329.

Aradila mengatakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor paling banyak digunakan dalam perkara korupsi karena ketentuan itu yang paling mudah digunakan jaksa menuntut. Unsur-unsurnya relatif lebih mudah dipenuhi.

Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, menurut Aradila, cukup efektif menjerat pelaku korupsi. Persoalannya, aparat penegak hukum tidak maksimal membuktikan kesalahan yang bisa dihukum seberat-beratnya. Tuntutan jaksa yang rendah berhubungan erat dengan putusan hakim.

Pengenaan pasal 2 dan pasal 3 bisa juga lemah karena ada multitafsir di kalangan aparat penegak hukum. Walau sudah ada putusan MK, masih ada hakim yang tidak mengikutinya. Multitafsir itu menyulitkan masyarakat untuk memantau apakah perkara korupsi itu benar-benar terjadi atau aparat penegak hukum yang menerjemahkan sebuah tindakan sebagai korupsi. Menurut Aradila rumusan Pasal 2 UU Tipikor bersifat karet khususnya frasa “melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.”

Tapi jika kualitas penyidikan dan penuntutan yang dilakukan aparat penegak hukum berlangsung baik, Aradila yakin masyarakat tidak akan ragu terhadap pengenaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Untuk itu yang patut dipertanyakan saat ini bagaimana kualitas penanganan perkara, terutama di kejaksaan. Jangan sampai kejaksaan hanya kejar setoran dalam menangani perkara korupsi.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril, mengistilahkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 'primadona' aparat penegak hukum terutama kepolisian dan kejaksaan karena paling banyak digunakan dalam perkara-perkara korupsi yang mereka tangani. Kedua pasal itu sering digunakan karena cakupannya sangat luas. Sehingga berbagai kasus korupsi selain berkaitan dengan suap bisa dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Kasus korupsi yang bisa dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor antara lain penyalahgunaan kewenangan, korupsi terkait anggaran negara, pengadaan barang dan jasa dan kasus-kasus yang menyebabkan kerugian negara. Aktor-aktor yang biasanya dijerat Pasal 3 UU Tipikor seperti aparatur pemerintahan. Pasal 2 UU Tipikor lebih luas lagi, bisa mencakup aparat pemerintahan, anggota parlemen, politisi dan pengusaha (swasta).

Pengenaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menurut Oce sudah cukup optimal untuk menjerat pelaku korupsi. Makanya kedua pasal itu jadi andalan aparat penegak hukum terutama kepolisian dan kejaksaan dalam menindak perkara korupsi. “Apakah pasal-pasal ini sudah berhasil menjerat koruptor? Kita bisa melihat sudah banyak pelaku korupsi yang dihukum menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” urainya.

Walau penggunaan pasal itu sudah maksimal, Oce punya beberapa catatan yang perlu dicermati. Menurutnya, dalam beberapa kasus ditemukan masalah bagaimana aparat penegak hukum khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam memaknai Pasal 2 dan Pasal 3. Misalnya, dalam memaknai apakah perbuatan yang dilakukan itu benar-benar tindak pidana korupsi atau tidak, terutama menyangkut unsur melawan hukum.

Oce menemukan ada kasus yang menunjukkan aparat penegak hukum serampangan dalam dalam menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3. Misalnya, aparat memaknai unsur-unsur yang ada di Pasal 2 dan Pasal 3 itu berdiri sendiri-sendiri, baik unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan unsur dapat merugikan negara.

Unsur melawan hukum kerap dimaknai aparat secara luas sehingga ada perkara yang sifatnya administratif dituduh memenuhi unsur melawan hukum sebagaimana diatur Pasal 2 dan penyalahgunaan wewenang seperti disebut Pasal 3 UU Tipikor.

Jika unsur-unsur yang ada di Pasal 2 dan Pasal 3 dianggap berdiri sendiri, menurut Oce aparat penegak hukum akan mudah menjerat orang yang disasar dan membawa ke ranah tindak pidana korupsi. Padahal, jika perkara yang dituduh itu menyangkut administratif mestinya penyelesaiannya juga menggunakan mekanisme administratif. “Itu beberapa hal yang kami temukan. Aparat terkesan menggampangkan pengenaan Pasal 2 dan Pasal 3 walau unsur-unsurnya belum tentu korupsi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait