Pasal Pembunuhan Jangan Diterapkan dalam Tabrakan Maut
Berita

Pasal Pembunuhan Jangan Diterapkan dalam Tabrakan Maut

Karena unsur kesengajaannya bukan untuk membunuh.

IHW/Ant
Bacaan 2 Menit
Pasal pembunuhan jangan diterapkan dalam tabrakan maut ditugu tani. Foto: SGP
Pasal pembunuhan jangan diterapkan dalam tabrakan maut ditugu tani. Foto: SGP

Nama Apriyani Susanti dalam sepekan ini menghiasi berbagai media, cetak maupun elektronik. Perempuan berusia 29 tahun ini mendadak terkenal setelah mobil yang dikendarainya menabrak sejumlah pejalan kaki hingga menewaskan sembilan orang di daerah Tugu Tani, Jakarta.

Banyak kecaman dialamatkan kepada Apriyani yang kemudian diketahui tak memiliki surat izin mengemudi itu. Apalagi setelah hasil tes urin menunjukkan bahwa Apriyani sebelumnya mengonsumsi narkotika. Ujungnya, tuntutan agar Apriyani dihukum seberat-beratnya mengalir deras. Kecaman yang bernada emosional bahkan menilai hukuman mati saja dirasa tak cukup.

Anggota Komisi V DPR Sigit Soesiantomo adalah salah satu yang menuntut Apriyani dijatuhi hukuman berat berupa hukuman mati atau paling tidak penjara seumur hidup tanpa mendapatkan remisi. Alasannya untuk memberi efek jera bagi pelanggar hukum dan mengembalikan kewibawaan peraturan lalu lintas.

Tak mau ketinggalan, Ketua DPR Marzuki Alie dan Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari juga sangat mendukung bila polisi menerapkan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan kepada Apriyani. Kedua politikus itu menyebut yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Kasus Metromini Maut pada tahun 1994 bisa dijadikan sebagai rujukan.

Kasus Metromini Maut

Yurisprudensi dalam kasus ini adalah yang terkait dalam kecelakaan maut Metromini bernopol B.7821VM jurusan Senen-Tanjung Priok pada 6 Maret 1994 silam. Saat itu, sopir Marojohan Silitonga alias Ramses Silitonga usai menenggak minuman anggur mengemudikan busnya yang sarat penumpang secara ugal-ugalan. Akibatnya, saat melintas Jalan Perintis Kemerdekaan, busnya slip dan tercebur ke Kali Sunter.

32 penumpangnya tewas di dalam sungai sedangkan 13 lainnya terluka parah. Walau sempat buron ke kampung halamannya di Sumatera Utara, polisi berhasil menangkapnya dan menjeratnya dengan Pasal 338 KUHP dan jaksa penuntut umum mendakwanya juga dengan Pasal 338 KUHP. Penggunaan pasal ini dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga ke tingkat Mahkamah Agung hingga Ramses divonis hakim hukuman 15 tahun penjara.

Sumber: indopos

Pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana punya pendapat berbeda soal penerapan pasal pembunuhan untuk menjerat Apriyani. Menurut Gandjar, pasal pembunuhan dan apalagi putusan MA dalam kasus Metromini tidak serta-merta bisa langsung diterapkan dalam kasus ini.

Gandjar beralasan, tak semua putusan MA bisa disebut yurisprudensi yang harus diikuti oleh semua pengadilan tingkat sebelumnya. Yang bisa diikuti sebagai yurisprudensi adalah yurisprudensi tetap.

Soal pasal pembunuhan, Gandjar berpendapat tak pas bila dituduhkan kepada Apriyani. Sebab, menurutnya, unsur kesengajaan dalam pasal pembunuhan sulit untuk dibuktikan dalam perkara ini.

Lengkapnya Pasal 338 KUHP ini berbunyi, barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Tiga bentuk kesengajaan:

1.    Kesengajaan bertujuan.

Perbuatan yang dilakukan atau terjadinya suatu akibat adalah memang menjadi tujuan si pembuat. Misalnya A menembak B dengan pistol dengan tujuan agar B mati.

2.    Kesengajaan berkesadaran kepastian atau keharusan.

Perbuatan yang dilakukan atau terjadinya suatu akibat bukanlah yang dituju tetapi untuk mencapai perbuatan atau akibat yang dituju itu pasti atau harus melakukan perbuatan atau terjadinya akibat tersebut. Misalnya A hendak membunuh B dengan pistol. Ketika A mengarahkan pistolnya ke B, tiba-tiba istri B menghalang-halangi, dan A tetap melepaskan tembakan sehingga peluru menembus istri B dan kemudian menembus B, hingga keduanya mati. Dalam hal ini kehendak A akan matinya B merupakan "kesengajaan bertujuan". Sedangkan penembakan terhadap istri B merupakan "kesengajaan berdasarkan kepastian atau keharusan.”

3.    Kesengajaan berkesadaran kemungkinan atau kesengajaan bersyarat .

Apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu, maka disadari adanya kemungkinan akan timbulnya akibat lain. Misalnya, A hobi mengebut di jalanan. Pada suatu hari ia mengebut di jalan yang banyak anak-anak bermain. Ia menyadari bahwa dengan mengebut ada kemungkinan akan ada anak-anak yang tertabrak. Namun, ia tidak menghiraukan nasib anak-anak itu dan terus mengebut. Apabila terjadi tabrakan, hingga luka bahkan mati, meskipun A tidak menghendaki hal itu, A dapat disalahkan atas luka-luka atau matinya anak-anak.

Sumber: Sofjan Sastrawidjaja dalam ‘Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Dengan Alasan Peniadaan Pidana

Menurut Gandjar, mereka yang menyatakan pasal pembunuhan bisa digunakan dalam kasus kecelakaan maut mendasarkan pandangannya pada jenis kesengajaan ketiga yaitu kesengajaan kemungkinan. “Tapi saya tidak sependapat dengan pandangan ini,” kata Gandjar saat dihubungi hukumonline, Sabtu (28/1).

Penggunaan jenis kesengajaan kemungkinan ini, lanjut Gandjar, tak bisa dilepaskan dari bentuk kesengajaan yang lain. “Kesengajaan bertujuannya tetap harus ada.” Hal ini yang menurut Gandjar sulit diterapkan dalam kasus kecelakaan lalu lintas karena pada dasarnya kecil kemungkinan pengendara kendaraan sengaja membunuh orang lain dengan menabrakkan kendaraannya.

Atas pemikiran tersebut, Gandjar menyatakan bahwa Universitas Indonesia pernah melakukan kajian atas putusan kasus Metromini maut. “Hasilnya, tidak tepat jika menggunakan pasal tentang pembunuhan.”

Bicara soal kesengajaan, kecelakaan lalu lintas dan meninggalnya korban kecelakaan, Gandjar berpendapat Pasal 311 Ayat (5) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Apriani lebih pas digunakan untuk menjerat Apriani. Sebab, Apriani memang sengaja mengendarai mobilnya tanpa surat izin mengemudi dan berada dalam keadaan di bawah kendali narkotika sehingga membahayakan nyawa dan barang. Ancaman hukumannya paling lama 12 tahun penjara.

Ditambah dengan adanya dugaan tindak pidana lain seperti penyalahgunaan narkotika, menurut Gandjar ancaman hukuman yang bakal diterima Apriani bisa lebih tinggi lagi. Soalnya ilmu hukum pidana mengenal konsep gabungan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 65 dan 66 KUHP. Dengan konsep gabungan tindak pidana itu, sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia adalah ancaman hukuman terberat ditambah sepertiganya. Jadi, bila Apriani dijerat dengan Pasal 311 Ayat (5) UU Lalu Lintas, maka hukumannya bisa paling tinggi mencapai 16 tahun. Tidak boleh lebih.

“Jadi soal berat atau rendahnya hukuman itu bukan dari sedikit atau banyaknya korban. Tapi tergantung dari pasal tindak pidana yang digunakan. Terlepas dari itu, saya berharap Apriani dihukum setimpal dengan perbuatannya. Bukan dengan hukuman seberat-beratnya. Karena kalau mau menghukum yang seberat-beratnya, berarti kita tidak perlu bicara hukum,” tutup Gandjar. 

Tags: