Pasal-pasal Pidana yang Bisa Jerat Perusahaan Fintech Ilegal
Utama

Pasal-pasal Pidana yang Bisa Jerat Perusahaan Fintech Ilegal

Permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat depresi karena penagihan pinjaman. Berbagai bentuk pelanggaran fintech ini dapat dijerat secara pidana.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Permasalahan pinjaman online atau financial technology peer to peer lending (fintech P2P) kian hari terus menjadi sorotan publik. Terakhir, permasalahan fintech ini bahkan merenggut nyawa nasabah yang memilih bunuh diri akibat depresi karena penagihan pinjaman tersebut. Sayangnya, penyelesaian hukum permasalahan ini masih minim sehingga kasus-kasus serupa terus bermunculan.

 

Bentuk pelanggaran perusahaan fintech ini juga beragam jenisnya. Mulai penagihan intimidatif, penyebaran data pribadi hingga pelecehan seksual diduga terjadi dalam persoalan ini. Ragam dugaan pelanggaran tersebut salah satunya bersumber dari hasil laporan pengaduan masyarakat yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sejak tahun lalu.

 

LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban aplikasi pinjaman online. Pelanggaran-pelanggaran tersebut sebagai berikut:

 

  1. Bunga yang sangat tinggi dan tanpa batasan.
  2. Penagihan yang tidak hanya dilakukan pada peminjam atau kontak darurat yang disertakan oleh peminjam.
  3. Ancaman, fitnah, penipuan dan pelecehan seksual.
  4. Penyebaran data pribadi.
  5. Penyebaran foto dan informasi pinjaman ke kontak yang ada pada gawai peminjam.
  6. Pengambilan hampir seluruh akses terhadap gawai peminjam.
  7. Kontak dan lokasi kantor penyelenggara aplikasi pinjaman online yang tidak jelas.
  8. Biaya admin yang tidak jelas.
  9. Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang.
  10. Peminjam sudah membayar pinjamannya, namun pinjaman tidak hapus dengan alasan tidak masuk pada sistem.
  11. Aplikasi tidak bisa di buka bahkan hilang dari Appstore / Playstore pada saat jatuh tempo pengembalian pinjaman.
  12. Penagihan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.
  13. Data KTP dipakai oleh penyelenggara aplikasi pinjaman online untuk mengajukan pinjaman di aplikasi lain.
  14. Virtual Account pengembalian uang salah, sehingga bunga terus berkembang dan penagihan intimidatif terus dilakukan.

 

Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait menjelaskan setiap bentuk pelanggaran fintech legal maupun ilegal seharusnya menjadi tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Itu (pelanggaran) tanggung jawab OJK bahwa UU OJK pasal 4,5 dan 6 mengatur itu. Jadi kalau dibilang aspek hukum apa menjerat pinjol tersebut jelas OJK sendiri punya aturan ke sana, baik dia terdaftar atatu tidak,” jelas Jeanny kepada hukumonline, Selasa (19/2).

 

(Baca Juga: Gagal Bayar Pinjaman Fintech, Bisakah Dikenakan Pidana?)

 

Lebih lanjut, Jeanny juga menjelaskan terdapat aturan lain bagi perusahaan fintech yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. Misalnya, dia menjelaskan bagi perusahaan fintech yang melakukan pelanggaran berupa penyeberan data pribadi dapat dikenakan Pasal 32 juncto (jo) Pasal 48 UU No. 11 Tahun 2008 Juncto UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kemudian, pengancaman perusahaan fintech terhadap nasabah dapat dijerat dengan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 29 jo Pasal 45B UU ITE.

 

“Mesti dilihat dahulu bentuk pelanggaran seperti apa yang dapat disesuaikan dengan jeratan hukumnya. Hampir semua mengadu pada kami di awal-awal pelaporan korban mengaku depresi yang penyebabnya karena intimidasi,” jelas Jeanny.

 

  1. Penyebaran data pribadi (Pasal 32 jo Pasal 48 UU ITE)
  2. Pengancaman dalam penagihan (Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 jo 45 UU ITE)
  3. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
  4. Fitnah (311 Ayat 1 KUHP)
  5. Pelecehan seksual melalui media elektronik (Pasal 27 Ayat 1 jo 45 Ayat 1 UU ITE)

 

Sementara itu, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menjelaskan perusahaan fintech “nakal” tersebut juga dapat dijerat Pasal 55 KUHP karena terlibat dalam tindakan pidana. Apabila, tindak pidana tersebut sampai berbentuk kekerasan fisik, pengambilan barang maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan KUHP Pasal 170, Pasal 351, Pasal 368 Ayat 1, Pasal 335 Ayat 1 pasca-putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Sehubungan dengan kasus bunuh diri nasabah fintech, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan kepolisian harus mencari penyebab terjadinya kasus tersebut. Terlebih lagi, ada dugaan penyebab bunuh diri ini terjadi karena depresi korban karena pinjaman fintech.

 

“Polisi harus menuntaskan penyelidikan dan harus dicari apakah memang ada ancaman atau tindak pidana lain yang membuat yang bersangkutan kemudian memilih bunuh diri,” jelas Arif.

 

Respons OJK

Menaggapi kasus bunuh diri nasabah fintech ini, OJK mengimbau kepada semua masyarakat Indonesia untuk tidak melakukan peminjaman uang secara online. Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing, memberikan klarifikasinya terkait peminjaman online yang sedang marak belakangan ini.

 

"Masyarakat diminta untuk tidak melakukan pinjaman terhadap fintech _P2P lending tanpa terdaftar atau memiliki izin OJK," ucap Tongam seperti dikutip dari Antara.

 

Lebih lanjut, Tongam menjelaskan mayoritas perusahaan fintech ilegal tersebut pinjaman berbasis online ilegal yang sudah merambah ke media sosial. "Nah, melihat berbagai kondisi ini, kami dari OJK dan asosiasi melakukan pendalaman, dalam hal ini melakukan proses pengumpulan informasi. Selanjutnya fintech legal dilarang meng-copy semua kontak yang ada di HP, hanya kontak darurat yang boleh dikontak," jelas Tongam.

 

Hingga Februari 2019, OJK melalui Satgas Waspada Investasi, telah memberhentikan layanan 231 penyelenggara pinjaman online. Dari jumlah tersebut, OJK memastikan seluruhnya adalah layanan yang tidak terdaftar dan tidak memiliki izin dari OJK.

 

Oleh karena itu, Satgas Waspada Investasi OJK telah membuat langkah pencegahan terhadap "P2P lending" ilegal, yakni dengan mengumumkan daftarnya lalu mengajukan permohonan pemblokiran melalui Kominfo untuk memutus akses keuangannya dan menyampaikan laporan kepada Bareskrim Polri.

 

Sebelumnya diberitakan pada Senin (11/2) lalu, seorang pengemudi taksi bernama Zulfandi (35), ditemukan tewas di kamar kostnya di daerah Tegal Parang, Jakarta Selatan. Zulfandi tewas gantung diri setelah diduga tidak kuat menghadapi pola penagihan akibat pinjaman online yang ia lakukan sendiri. Melalui sepucuk surat yang ia tulis sebelum melakukan aksinya, Zulfandi meminta kepada OJK dan pihak berwajib untuk memberantas pinjaman online. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait