Pasal Berlapis Bagi Penyebar Berita Hoax
Utama

Pasal Berlapis Bagi Penyebar Berita Hoax

Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 lebih mudah dikenakan terhadap penyebar berita hoaks ketimbang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Menyeruaknya berbagai peristiwa teror bom yang diberitakan berbagai media akhir-akhir ini telah menyorot perhatian besar para netizen. Berbagai isu seputar terorisme diperdebatkan hingga membanjiri postingan pada laman instagram, facebook, twitter dan sosial media lainnya. Beberapa netizen ada yang sengaja atau bahkan termakan jebakan berita hoax hingga sudah melakukan repost atas berita tersebut. Padahal siapa sangka jika pada akhirnya pelaku dapat dijerat sanksi dengan pasal berlapis?

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, menjelaskan bahwa penyebar berita hoaks/ kabar bohong/ kabar yang tidak lengkap itu dapat dikenakan sanksi pidana sesuai pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Jerat hukum jika menggunakan pasal 14 dan 15 UU 1/1946 ini tidak tanggung-tanggung, kata Miko, ada yang bisa dikenakan sanksi 2 tahun, 3 tahun bahkan 10 tahun yang dikualifikasi dalam 3 bentuk pelanggaran, yakni:

 

No.

Kualifikasi Konten Hoaks

Sanksi

Dasar Hukum

1.

Menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat

10 Tahun

Pasal 14 ayat (1)

2.

Menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyengka bahwa berita itu bohong

3 Tahun

Pasal 14 ayat (2)

3.

Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran

2 Tahun

Pasal 15

 

Miko juga menyebut bahwa pasal 14 dan 15 UU 1/1946 itu lebih mudah dikenakan terhadap penyebar berita hoaks ketimbang menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE. Menurut Miko, pasal penyebaran berita hoaks yang diatur dalam UU ITE sangatlah terbatas pada konteks yang menimbulkan kerugian konsumen dan ada juga yang sifatnya ujaran kebencan yang menimbulkan permusuhan sara’.

 

“Nah, kalau dalam UU ITE itu ada klausul lainnya, jadi tidak sekadar memberi kabar menyesatkan atau bohong, tapi harus ada ‘klausul’ lain seperti menimbulkan rasa kebencian berdasarkan sara’. Sedangkan jika menggunakan pasal 14 dan 15 UU 1/1946, maka tidak diperlukan klausul lain, karena ia murni kabar tidak lengkap atau kabar bohong,” jelas Miko kepada hukumonline, Selasa, (22/5).

 

Lihat juga: Begini Tips Hindari Ancaman Pidana Menyebarkan Hoax

 

Sebelumnya, Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan pada Direktorat Keamanan Informasi Kemenkominfo, Teguh Afriyadi, pernah menyebut kepada hukumonline bahwaada 3 jenis konten hoax yang dapat dipidana penjara 4-6 tahun dan dengan denda maksimal Rp750 juta hingga Rp. 1 miliar berdasarkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni:

 

No.

Muatan Konten

Dasar Hukum

1.

Pencemaran nama baik atau fitnah

Pasal 27 ayat (3)

2.

Penipuan untuk motif ekonomi yang merugikan konsumen

Pasal 28 ayat (1) UU ITE

3.

Provokasi terkait SARA

Pasal 28 ayat (2) UU ITE

 

Adapun terkait delik pencemaran nama baik atau fitnah berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU ITE, tambah Miko, hal yang penting untuk ditekankan adalah penghinaan itu terhadap ‘orang’ atau ‘manusia’. Karena yang dinamakan penghinaan itu, kata Miko, berdasar pada niat untuk merendahkan kehormatan atau wibawa ‘seseorang’.

 

“Jadi seseorang itu orang, manusia, karena yang punya rasa itu manusia,” tukas Miko.

 

Lebih lanjut dijelaskan Miko, bahwa penghinaan itu adalah soal perasaan karena yang punya perasaan itu adalah manusia maka penekanannya adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Itu pulalah yang menurut Miko menjadi alasan mengapa delik penghinaan atau pencemaran nama baik itu masuk ke dalam kategori delik aduan. Sehingga ‘orang yang merasa’ direndahkan itu bisa mengadukannya seperti diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP.

 

Lihat juga      : Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE

 

Miko memberikan permisalan, mengapa pasal penghinaan presiden dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)? Karena salah satu dasarnya adalah jabatan presiden itu tidak mempunyai perasaan, sehingga tidak memiliki perasaan ketersinggungan. Bahkan, kata Miko, ada putusan MK tentang pengujian UU ITE yang menegaskan bahwa untuk membaca pasal 27 ayat (3) UU ITE itu harus senafas dengan pasal 310 dan 311 KUHP.

 

Untuk diketahui, MK dalam Putusan No. 50/PUU-VI/2008 menyatakan bahwa penafsiran norma yang termuat dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bisa dilepaskan dari genus-nya, yakni norma hukum yang termuat dalam pasal 310 dan 311 KUHP, sehingga penerapannya tidak bisa menggunakan delik biasa, melainkan harus menggunakan delik aduan.

 

Adapun delik lainnya yang bisa dikenakan kepada penyebar konten hoax, kata Miko, adalah delik penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2008. Namun pengenaan delik ini, sambung Miko, hanya jika memenuhi klausul-klausul dan kondisi tertentu seperti apakah konten hoaks yang disebarkan tersebut bernuansa permusuhan dan ada anasir menimbulkan kebencian terhadap kelompok ras atau etnis tertentu? Jika ada, barulah delik itu bisa dimasukkan.

 

Lihat juga : Ada Sanksi Bagi PNS yang Memberikan Like, Dislike di Postingan Ujaran Kebencian

 

Sanksi lainnya berlaku khusus di kalangan PNS, yakni dalam konteks penyebaran konten hoax dengan muatan ujaran kebencian. Kepala Biro Humas BKN Mohammad Ridwan menjabarkan, jenis sanksi yang akan dikenakan terhadap oknum pelaku Aparatur Sipil Negara (ASN) ini meliputi sanksi ringan dan sanksi berat sebagaimana diatur dalam pasal 7 PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pekan lalu, 6 bentuk ujaran kebencian yang disebarkan ASN melalui medsos ini diumumkan BKN melalui rilis No. 006/Rilis/BKN/V/2018.

 

Tak tanggung-tanggung, bukan hanya sekadar oknum ASN yang menyebarkan konten hoaks bermuatan ujaran kebencian, bahkan ASN yang memperlihat persetujuan pendapat dengan melakukan like, dislike atau berkomentar pada postingan yang bermuatan ujaran kebencian tersebut juga dapat dikenakan sanksi ringan.

 

Lihat Juga: Begini Isi SE Menteri PANRB Bagi PNS dalam Penggunaan Medsos

 

“Untuk jenis kegiatan pada poin 5-6 sebagaimana tercantum dalam rilis tersebut memang kita kenakan sanksi ringan, akan tetapi jika oknum ASN melakukan kegiatan pada poin 1-4 seperti menyebarluaskan berita dengan konten ujaran kebencian tersebut maka dapat dijatuhi disipilin berat,” jelas Ridwan kepada hukumonline, Senin, (21/5).

 

Berikut rangkuman hukumonline terkait sanksi yang bisa didapatkan ASN yang melakukan penyebaran maupun mengungkapkan persetujuannya terhadap postingan konten hoax:

 

Jenis Sanksi

Sanksi

Dasar Hukum

Hukuman Disiplin Ringan

  1. Teguran lisan;
  2. Teguran tertulis,dan;
  3. Pernyataan tidak puas secara tertulis.

Pasal 7 ayat (2) PP No. 53 Tahun 2010

Hukuman Disiplin Berat

  1. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun;
  2. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
  3. Pembebasan dari jabatan;
  4. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan;
  5. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Pasal 7 ayat (4) PP No. 53 Tahun 2010

Tags:

Berita Terkait