Tujuh dekade eksistensi Indonesia, salah satu isi konstitusi NKRI yang masih berlaku adalah pengaturan soal jaminan kebebasan bagi tiap penduduk untuk beragama dan beribadah menurut agamanya tersebut. Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Prof. Ridwan Lubis memaknai ayat konstitusi tersebut sebagai pernyataan bahwa urusan agama menjadi bagian dari urusan negara.
Hal ini diungkapkan dalam bedah buku karyanya “Agama dalam Konstitusi RI, Menghidupkan Nilai-Nilai Profetik Di Tengah Masyarakat Heterogen”, Senin (20/8), di Jakarta. Hukumonline menguji pandangan ini pada dua pakar konstitusi yang pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi RI.
Tanggal 17 Agustus 2018 yang lalu, tepat 73 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri diproklamasikan sejarah mencatat berbagai dinamika dan polemik dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Salah satu polemik yang pernah berlangsung dalam proses pendirian negara hingga periode awal kemerdekaan adalah hubungan antara agama dengan negara, khususnya agama Islam.
Padahal, konstitusi sudah menyebutkan ketentuan tentang agama secara jelas dalam satu bab khusus. Pasal ini tidak mengalami perubahan saat amandemen dilakukan pasca reformasi.
BAB XI AGAMA Pasal 29:
|
Perdebatan golongan Nasionalis-Islamis dengan Nasionalis-Sekuler berujung kompromi yang melahirkan Pancasila. Namun perdebatan kembali terjadi di Konstituante pasca kemerdekaan. Golongan Nasionalis-Islamis masih mengupayakan Indonesia menjadi negara berdasarkan Islam. Salah satu alasannya karena khawatir Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim akan menjadi negara ateis atau sekular akibat dasar negara yang tidak tegas melindungi ajaran Islam.
(Baca Juga: Pancasila Wajibkan Agama Menjadi Sumber Hukum Nasional)
Presiden Soekarno memutuskan ikut campur untuk menghentikan perdebatan ini dengan membubarkan Konstituante dan menetapkan dasar negara adalah Pancasila beserta konstitusi UUD 1945.