Pasal 256 KUHP Baru dan Ancaman Serius Bagi Demonstran
Kolom

Pasal 256 KUHP Baru dan Ancaman Serius Bagi Demonstran

Disahkannya KUHP baru masih menyimpan sejumlah persoalan, utamanya terkait pasal-pasal yang memiliki potensi berbahaya bagi aktivitas demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Bacaan 4 Menit

Di sisi lain, tim perumus tidak menangkap gejala dan fenomena di lapangan yang hari-hari ini begitu masif terjadi. Masyarakat yang mengorganisir kelompoknya saat melawan okupasi lahan, perampasan tanah atau aktivitas perusahaan seringkali melakukan perlawanan dengan metode aksi massa. Sayangnya, jalan ini kerap kali dihadap-hadapkan pada aparat kepolisian yang cenderung represif. Kasus semacam ini justru yang dapat diukur dan dijadikan sebagai pertimbangan dalam membuat sebuah regulasi.

Hal ini baru saja terjadi misalnya di kasus penolakan pertambangan di Desa Wawonii, Sulawesi Tenggara. Masyarakat ditangkap secara sewenang-wenang dengan alasan yang tidak valid hanya karena terlibat dalam penolakan tambang (Kompas.id, 2022). Berbagai aturan belakangan ini justru diciptakan untuk menjerat aktivitas masyarakat yang dianggap mengganggu. Hal tersebut misalnya tercermin dalam Pasal 162 UU Mineral dan Batu Bara pasca revisi di 2020 lalu. Dalam aturan tersebut pada intinya disebutkan bahwa setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dapat dipidana.

Membludaknya persoalan kriminalisasi dengan menggunakan perangkat hukum yang represif justru bertambah setelah pengesahan KUHP baru. Pengesahan yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah justru tidak menjawab isu-isu hari ini seperti halnya demokrasi dalam tren yang cukup mengkhawatirkan. Memburuknya situasi tak terlepas dari penyalahgunaan proses hukum, dengan melakukan intimidasi dan pembungkaman kritik yang disuarakan aktivis, jurnalis, atau elemen warga lainnya, melalui jalur hukum atau disebut dengan judicial harassment (Nugroho, 2022). Jangan sampai agenda demokratisasi dalam penyusunan KUHP versi Indonesia justru mengembalikan cara pandang masa kolonial dan orde baru dalam merespon ekspresi publik.

*)Rozy Brilian Sodik, Peneliti KontraS.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait