Partner Budidjaja International Lawyers Ini Bicara di Webinar Asosiasi Advokat New York
Terbaru

Partner Budidjaja International Lawyers Ini Bicara di Webinar Asosiasi Advokat New York

Stefanny menerangkan hirarki perundang-undangan Indonesia; badan peradilan dan sistem yudisial; sumber-sumber hukum dalam penanganan perkara perdata; sistem peradilan dan prosedurnya; serta jawaban akan pertanyaan yang sering diterima terkait litigasi Indonesia.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Partner Budidjaja International Lawyers Stefanny Oktaria Simorangkir saat berbicara dalam webinar bertajuk 'Litigasi di Asia Pasifik', Jum’at (8/4/2022). Foto: FKF
Partner Budidjaja International Lawyers Stefanny Oktaria Simorangkir saat berbicara dalam webinar bertajuk 'Litigasi di Asia Pasifik', Jum’at (8/4/2022). Foto: FKF

New York State Bar Association (NYSBA) atau Asosiasi Advokat New York baru saja mengadakan Webinar bertajuk “Litigasi di Asia Pasifik”, Jum’at (8/4/2022). Kegiatan itu mengundang advokat dari sejumlah negara Asia-Pasifik yaitu Kamboja, India, Indonesia, dan Taiwan. Masing-masing advokat yang menjadi narasumber menerangkan bagaimana litigasi yang dijalankan pada negara mereka masing-masing.

Untuk pembahasan seputar litigasi Indonesia sendiri diisi oleh Partner and Head of Practice Group Shipping and Aviation Budidjaja International Lawyers Stefanny Oktaria Simorangkir. Melalui laman instagram @budidjajainternationallawyers, Rabu (6/4/2022), Budidjaja International Lawyers mengungkapkan rasa senangnya untuk dapat menjadi bagian dari webinar internasional tersebut.

Dalam pemaparannya, Stefanny menerangkan seputar hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia; badan peradilan dan sistem yudisial di Indonesia; sumber-sumber hukum dalam penanganan perkara perdata; sistem peradilan dan prosedurnya; sampai sejumlah jawaban akan pertanyaan yang diterima terkait litigasi di Indonesia. Diantara jawaban akan pertanyaan itu adalah mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

“Banyak klien yang seringkali mendengar proses hukum panjang di Pengadilan Negeri hingga memakan sekitar 6 bulan sampai 1 tahun. Bahkan setelah itu bisa dilakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Untuk dapat putusan final and binding dari Mahkamah Agung juga bisa sampai sekitar 4 tahun, jadi itu lumayan lama dan terkadang mereka (klien) mencoba untuk menemukan jalan pintas,” ujar Stefanny dalam Webinar “Litigasi di Asia Pasifik”, Jum’at (8/4/2022).

Baca:

Ia menerangkan PKPU dan Kepailitan dapat ditemui dalam hukum Indonesia. Tetapi terdapat beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi terlebih dahulu. Seperti Debitur memiliki lebih dari satu Kreditur; serta salah satu utang telah jatuh tempo dan harus dibayar. Lebih lanjut, penting untuk para pihak yang hendak melakukan proses PKPU atau Kepailitan membuktikan pemenuhan atas semua persyaratan tersebut secara pembuktian sederhana.

Sebagai contoh pembuktian sederhana, Stefanny mengumpamakan jika terdapat suatu utang, maka harus jelas tertuang dalam suatu kesepakatan seberapa besar jumlah utang dan kapan utang tersebut harus sudah dibayarkan yang mana hal itu telah dilanggar.

Pasal 8 ayat (5) UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) menerangkan bahwa Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diterbitkan paling lambat dalam waktu 60 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

Sedangkan, putusan atas PKPU diterbitkan dalam kurun waktu 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. “Tetapi ada kalanya jika pengadilan memiliki banyak perkara yang ditangani, 20 hari kalender terkadang menjadi lebih lama dibanding itu. Bisa sampai satu bulan atau lebih,” bebernya.

Nantinya akan akan ditunjuk hakim pengawas dan administrator. Kemudian akan diadakan pertemuan Kreditur, Verifikasi Hutang, Proposal Rencana Komposisi Debitur, jika Proposal Rencana Komposisi oleh Debitur disetujui oleh Kreditur maka rencana itu akan diratifikasi melalui Putusan.

Disamping membahas terkait PKPU dan Kepailitan yang menjadi pertanyaan yang tak jarang ditanyakan banyak orang termasuk klien-kliennya terkait litigasi di Indonesia, Stefanny juga menjelaskan imbas dari pandemi Covid-19 terhadap proses litigasi yang ada.

“Sebagai implikasi dari Covid-19, terdapat sejumlah penundaan (penanganan putusan). Meski (sekarang) sudah menjadi lebih baik. Tapi jika Covid-19 melambung lagi, biasanya badan peradilan menutup pengadilan, menunda persidangan ke waktu tertentu. Jadi sejumlah penundaan terjadi dan itu meningkatkan penggunaan E-Court secara signifikan.”

Tags:

Berita Terkait