Partner AKSET Bermimpi Bisa Convert Lawfirm Jadi PT
Berita

Partner AKSET Bermimpi Bisa Convert Lawfirm Jadi PT

Perlu ada penyesuaian dengan UU PT.

RIA
Bacaan 2 Menit
Partner AKSET Lawfirm Mohamad Kadri (Tengah) dalam acara Tea Talk with Lawyers di Kampus IJSL, Jakarta, Jumat (5/6). Foto: RES.
Partner AKSET Lawfirm Mohamad Kadri (Tengah) dalam acara Tea Talk with Lawyers di Kampus IJSL, Jakarta, Jumat (5/6). Foto: RES.

Parter Kantor Hukum Arfidea Kadri Sahetapy-Engel Tisnadisastra (AKSET) Mohamad Kadri bermimpi bisa mengubah kantor hukum yang didirikan bersama rekan-rekannya berubah menjadi perseroan terbatas (PT).

“Saya terus terang mempunyai obsesi atau mimpi, suatu saat saya bisa convert lawfirm saya menjadi PT,” ujar Kadri dalam Tea Talk with Lawyersyang diselenggarakan oleh hukumonline dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) di Kampus Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Jakarta, Jumat (5/6).

Meski saat ini tidak ada aturan yang secara jelas mengatur larangan kantor hukum menjadi PT, sebut Kadri, tetapi notaris hingga sekarang masih belum berani membuat akta kantor hukum itu untuk menjadi PT. Notaris masih membuat akta pendirian kantor hukum sebagai satu persekutuan perdata.

Bentuk persekutuan perdata seperti yang dianut oleh kantor-kantor hukum di Indonesia saat ini, seperti yang juga pernah dibahas dalam berita hukumonline sebelumnya, membebankan tanggung jawab seutuhnya kepada para pendiri (firma). Konsep ini dikenal sebagai unlimited liability partnership.

Walaupun konsep ini bisa diperjanjikan berbeda dalam kontraknya, jelas Kadri, namun membentuk lawfirm menjadi PT memiliki  lebih banyak keuntungannya. “Lawfirm itu bisa dibikin terbuka; asing bisa masuk, lawfirm bisa dibiayai oleh bank. Kemudian bisa diterbukakan PT itu. Bisa di-go public-kan,”ujar Kadri.

“Dengan begitu, lawfirm bisa lebih besar dan tidak kekurangan modal. Dia juga bisa melakukan merger and acquisition,” imbuhnya.

Dengan sistem manajemen PT, perjanjian partner ketika mendirikan firma bisa diformulasikan menjadi saham, ujar Kadri. Pemegang saham di sini tidak harus terus sampai akhir hayatnya berprofesi sebagai lawyer seperti yang sudah-sudah terjadi, lanjutnya. Pekerjaan bisa didelegasikan kepada yang lebih muda.

“(Dengan menjadi PT,-red) ada dewan direksi, kemudian lawyer yang menjalakannya bisa yang muda-muda. Orang juga ngga akan lagi melihat siapa partnernya. Tapi lawfirm as an entity. Orang akan melihat, ‘oh kalau lawfirm dari situ udah pasti dari bawah sampai atas itu quality controlnya bagus’,” ungkapnya dengan penuh semangat.

Selanjutnya yang senior juga bisa melakukan pekerjaan yang sifatnya high profile. “Mereka udah bisa tinggal negosiasi, getting business, lobi sana-sana, dan terus berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang misalnya,” tutur Kadri.

Hal ini ditanggapi secara positif oleh Ketua HKHPM Indra Safitri. Ia yang mengaku pernah bermimpi meihat satu lawfirm besar di Indonesia, menilai bahwa impiannya itu bisa dilakukan dengan model seperti yang disampaikan Kadri.

“Orang kalau mendirikan lawfirm itu kan suatu saat tidak di sini terus. Pasti dia harus punya 200 tahun ada namanya lah. Makanya kita mimpi juga untuk menjadikan Indonesia punya satu lawfirm yang besar,” tutur Indra.

Restrukturisasi Peraturan

Mengubah bentuk badan hukum lawfirm menjadi PT tentu berimplikasi dengan aturan lain yang terkait. Dalam hal ini, salah satunya, adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007tentang Perseroan Terbatas.

Permasalahannya, beberapa hal yang diatur dalam UU PT berbeda dengan aturan yang selama ini menjadi acuan para lawyer Indonesia ini. “Sebagai persekutuan yang bergerak di bidang profesi, ya pendirinya harus tiga lawyer. Terus yang bukan lawyer gimana? Itu kan perlu disesuaikan,” Kadri memberikan contoh kepada hukumonline usai acara.

Selain itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ujar Kadri, yakni soal tanggung jawab PT yang terbatas. Sedangkan pada persekutuan perdata tanggung jawab itu tidak terbatas, tandasnya.

Hal lain yang juga jelas bertentangan antara PT dengan aturan yang mengikat advokat adalah PT dimungkinkan untuk beriklan. Sedangkan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dalam Pasal 8 huruf b melarang advokat untuk beriklan. Kadri berkomentar sudah seharusnya aturan advokat dilarang beriklan ini diubah.

“Duh kenapa sih advokat nggak boleh beriklan? Ya boleh lah. Diubah aja lah. Lawfirm itu harus bisa go public. Lawfirm itu harus bisa mengajukan pinjaman. Harus bisa melakukan strategic investment,” ungkapnya.

Berkaca pada kantor konsultan keuangan/financial advisor, seperti Deloitte dan Ernst & Young (EY) yang sudah berbentuk PT, Kadri juga berharap kelak kantor hukum bisa menjadi PT.

“Orang belum terbuka aja. Makanya tadi saya bilang, kalau entitasnya PT itu lebih luas dan lebih gampang akses untuk investment, karena usaha PT sudah demikian diregulasi. Jadi lebih transparan. Orang mau taruh uang juga lebih gampang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait