Parliamentary Threshold, Kebijakan Coba-Coba
Berita

Parliamentary Threshold, Kebijakan Coba-Coba

Perjuangan sebelas partai politik gurem kandas. Harus bertarung secara demokratis dengan partai besar.

Mys
Bacaan 2 Menit
Parliamentary Threshold, Kebijakan Coba-Coba
Hukumonline

 

Bagi mayoritas hakim konstitusi, kebijakan PT yang diambil DPR dan Pemerintah adalah konstitusional. Legislatif dapat menentukan ambang batas keikutsertaan parpol di parlemen, baik dalam bentuk electoral threshold maupun parlimentary threshold. Kebijakan itu (maksudnya PT --red) dibenarkan konstitusi sebagai politik penyederhaan kepartaian, dan sebagai legal policy. Bagi mayoritas hakim, kebijakan PT yang tercantum dalam UU Pemilu 2008 lebih menjamin eksistensi parpol peserta pemilu.

 

Ketentuan PT, bagi Mahkamah, telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik, tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional.

 

Selain itu, kebijakan 2,5 % perolehan suara diberlakukan tanpa kecuali kepada semua parpol. Ketentuan pasal 202 ayat (1) UU No. 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang diskriminatif, urai Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya. Alasannya, selain karena berlaku kepada semua parpol dan semua calon anggota legislatif, juga karena tidak ada faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial atau pembeda lain yang dimaksud dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

 

Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu 2008 adalah rumusan yang dipersoalkan kesebelas dan 306 calon anggota DPR. Pasal ini merumuskan: Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 % (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Rumusan ini erat kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Pemilu seperti pasal 203, 205, 206, 207 dan pasal 208. Jika permohonan pengujian terhadap pasal 202 ayat (1) dikabulkan, pasal lain juga terimbas.

 

Tetapi, Mahkamah Konstitusi sudah mengetukkan palu sebaliknya. Permohonan sebelas partai politik dan 306 calon anggota DPR ditolak mentah-mentah, meskipun pendapat Mahkamah diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar. Saya pikir dissenting opinion itu tidak ada manfaatnya, karena yang penting bagaimana pendapat akhir Mahkamah, ujar Ketua Umum Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB Janis.

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menilai aturan tentang parliamentary threshold dalam dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) tak ubahnya sebagai kebijakan coba-coba. Kesan seperti itu tak terelakkan manakala melihat fakta di lapangan. Setiap pemilu lima tahunan, DPR selalu mengganti regulasi.

 

Menjelang pemilihan umum 2004, DPR dan Pemerintah menerbitkan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Pada pemilu 2004, yang dianut adalah electoral threshold (ET). Sistem ET belum dijalankan sepenuhnya, eh DPR dan Pemerintah ganti sistem menjadi parliamentary threshold (PT). Kebijakan yang dianut juga jelas bersifat coba-coba, ujar Maruarar dengan suara keras.

 

Tidak dapat dielakkan kesan yang kuat bahwa kepentingan-kepentingan sesaat sangat berpengaruh pada kebijakan yang dilahirkan, dan tidak diuji secara keras kepada prinsip-prinsip konstitusi, tambah hakim konstitusi yang sudah dua periode terpilih ini.

 

Kritik pedas Maruarar jelas ditujukan kepada pembuat Undang-Undang, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, khususnya kepada tim penyusun UU Pemilu. Kebijakan tim yang membuat syarat 2,5 % perolehan suara jika partai politik ingin mendudukkan wakilnya di Senayan sangat mengesampingkan kedaulatan rakyat. Sayang, meski disampaikan dengan nada tegas, kritik Maruarar –juga M. Akil Mochtar-- tak mengubah putusan akhir Mahkamah Konstitusi.

 

Enam hakim konstitusi lain bulat bersepakat menolak permohonan sebelas partai politik dan 306 calon anggota DPR. Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, kata Moh. Mahfud MD, ketua majelis hakim MK dalam persidangan di Jakarta, Jum'at (13/2).

Tags: