Parlemen Dinilai Gagal Mereformasi Sektor Keamanan
Berita

Parlemen Dinilai Gagal Mereformasi Sektor Keamanan

Selama sepuluh tahun usia reformasi, parlemen belum menunjukkan kontribusinya dalam mereformasi sektor pertahanan dan keamanan. Mereka gagal memboyong militer dan polisi ke gerbong demokrasi.

Her
Bacaan 2 Menit

 

Jika menengok ke belakang, dalam hal legislasi, anggota MPR pernah membuat produk hukum yang fenomenal, yaitu dengan menerbitkan TAP MPR No. VI/2000 dan TAP MPR No. VII/2000. Dua ketetapan itu terbilang fenomenal lantaran menarik militer dari politik praktis dan memisahkannya dari institusi kepolisian.

 

Kedua TAP MPR itu menjadi ruh bagi beberapa peraturan perundang-undangan yang lahir pasca reformasi, baik yang berkaitan dengan militer maupun kepolisian. Di antaranya adalah UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Salah satu hal terpenting dalam UU No. 34 Tahun 2004 adalah dicantumkannya ketentuan diakhirinya bisnis TNI, ungkap Yunanto. Tujuannya semata-mata agar prajurit dan petinggi TNI bekerja secara profesional.

 

Pada April lalu, Presiden sudah menerbitkan Keppres No. 7 Tahun 2008 yang menjadi dasar Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI bekerja. Tim ini dipimpin oleh mantan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapemekas. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono selaku Tim Pengarah mengusulkan anggaran Rp36 miliar untuk mengurus pengalihan bisnis militer tersebut.

 

Untuk kepolisian, kedua TAP MPR tersebut telah ditindaklanjuti dengan disahkannya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. UU ini meneguhkan peran polisi sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Peran polisi sebagai penegak hukum juga diperkuat melalui penyelidikan dan penyidikan.

 

Masalah intelijen

Yunanto menilai, kegagalan parlemen yang paling mencolok ialah dalam menghasilkan UU tentang Intelijen Negara. Padahal, urgensi UU ini begitu tinggi, mengingat sudah waktunya tukang mata-mata ini diatur sesuai prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Maret 2006 lalu pemerintah menyodorkan RUU Intelijen Negara kepada DPR. Melalui RUU itu pemerintah hendak menyeimbangkan kepentingan nasional dengan penegakan hukum dan perlindungan HAM.

 

Pengamat militer Aleksius Jemadu mengatakan, draft RUU Intelijen Negara versi Pemerintah perlu disorot tajam. Pertama-tama ialah mengenai kedudukan Badan Intelijen Negara yang ditempatkan sebagai primus interpares bagi komunitas intelijen lainnya. Dikhawatirkan BIN akan menjadi superbody yang menjadi alat kekuasaan semata, ujar akademisi Universitas Parahyangan Bandung ini.

 

Bercampurnya fungsi intelijen dan fungsi penegakan hukum juga perlu digugat. Aleksius berpendapat, kedua fungsi itu harus dipisahkan secara tegas. RUU versi pemerintah dinilainya melanggengkan wewenang BIN untuk menangkap orang yang dicurigai mengancam keamanan nasional. Dalam kasus terorisme, misalnya, kerja BIN dan polisi bisa tumpang tindih.

 

Hal lain yang mendapat sorotan ialah pemberian special power kepada lembaga intelijen. Kewenangan khusus ini tidak bisa dirumuskan secara umum dan mengambang karena akan membuka peluang penyalahgunaan, tandas Aleksius.

 

Tags: