Paripurna DPR Tak Bacakan Surat Agung Laksono
Berita

Paripurna DPR Tak Bacakan Surat Agung Laksono

Kubu Ical telah mendaftarkan gugatan ke PTUN atas SK Menkumham yang mengesahkan Partai Golkar Munas Ancol.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Sidang paripurna DPR. Foto: RES
Sidang paripurna DPR. Foto: RES
Partai Golkar kubu Agung Laksono telah melayangkan surat kepada pimpinan DPR. Namun, rapat paripurna yang dipimpin Farhri Hamzah tidak membacakan surat tersebut. Alasannya, surat tersebut belum dirapatkan untuk kemudian dapat dibacakan dalam rapat paripurna.

“Kalau surat sudah diterima, pasti kami baca setelah diseleksi. Karena belum dirapatkan maka belum dapat dibacakan,” ujarnya di Gedung DPR, Senin (23/3).

Anggota dewan dari Golkar kubu Agung Laksono, Fayakhun Andriadi, mengatakan surat telah masuk ke pimpinan DPR. Makanya, ia meminta agar pimpinan DPR membacakan dalam rapat paripurna. Namun lantaran enggan membacakan, Farakhyun yang ditunjuk menjadi sekretaris Fraksi Golkar oleh kubu Agung membacakan. Namun saat membacakan, pengeras suara dimatikan.

Anggota dewan dari Golkar kubu Agung lainnya, Agus Gumiwang Kartasasmita, kekeuh membacakan surat tersebut. Mesti tak sepakat dengan penjelasan Fahri, Agus sebagai anggota dewan memiliki hak untuk membcarakan surat tersebut. Surat itu berisi perubahan pimpinan fraksi Golkar di parlemen berdasarkan surat keputusan Menkumham No.M.HH-01.AH.11.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Serta Komposisi dan Personalias Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya.

Dalam surat tersebut, intinya menunjuk Agus Gumiwang sebagai ketua Fraksi Golkar, Fayakhun Andriadi sebagai Sekretaris Fraksi, dan Eni Maulani Saragih sebagai bendahara. Merujuk pada keputusan Menkumham itulah, Agus meminta seluruh pihak menghormati keputusan pemerintah yang menetapkan Golkar kubu Agung sebagai pihak yang sah.

“Seluruh kegiatan Fraksi Golkar sah apabila dilakukan dan ditandatangani oleh Agus Gumiwang,” ujarnya.

Sekretaris Fraksi Golkar kubu Aburizal Bakrie, Bambang Soesatyo tak mengindahkan adanya klaim Golkar pimpinan Agung Laksono. Menurutnya Fraksi Golkar masih di bawah kepemimpinan Golkar Aburizal Bakrie biasa disapa Ical dan Sekjen Idrus Marham.

“Kita boleh saja terburu-buru, tapi kita harus ikuti aturan. Jangan hanya kepentingan sesaat dan syahwat sesaat mengesampingkan tindakan-tindakan yang sudah kita patuhi,” ujarnya.

Selain meminta pihak kubu Agung bersabar, kubu Ical masih melakukan upaya hukum gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Terlebih, pihak Ical melaporkan ke Bareskrim terkait adanya dugaan pemalsuan dokumen dan tanda tangan utusan DPD I dan II dalam dalam Munas Ancol. Atas dasar itulah, ia meminta pimpinan DPR tidak terburu-buru memutuskan dan mengesahkan Golkar kubu Agung.

“Jangan-jangan surat Menkumham palsu juga, jangan-jangan kop surat Menkumham itu dicetak di Pramuka, jadi harus dicek,” ujar anggota komisi III itu.

Bambang menilai belum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap berarti kepengurusan fraksi Golkar masih di bawah kepemimpinan kubu Ical. Makanya, urusan hukum soal perseteruan d tubuh internal Golkar masih berproses sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

“Jadi sepanjang belum ada keputusan tetap, tidak ada Munas hasil ancol,” katanya.

Gugat ke PTUN
Terpisah, kuasa hukum Golkar kubu Ical, Yusril Ihza Mahendra mengatakan pasca terbitnya keputusan Menkumham yang mengesahkan DPP Golkar hasil Munas Ancol, pihaknya langsung mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut dalam rangka meminta pembatalan atas keputusan Menkumham tersebut.

Menurut Yusril, keputusan Menkumham tersebut bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Bahkan, bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik. Atas dasar itulah, kata Yusril, cuku alasan bagi PTUN membatalkan keputusan Menkumham tersebut.

Ahli hukum tata negara itu berharap agar PTUN bersikap netara, adil dan tidak memihak dalam memeriksa dan menangani gugatan pihaknya. Pasalnya nuansa politik dalam perkara tersebut amatlah besar, sehingga pengadilan menjadi satu-satunya tempat bersandar bagi pencari keadilan.

Mantan Menteri Kehakiman dan Ham itu menilai keputusan Menkumham menggunakan logika politik, bukan logika hukum. Makanya, perlunya kontrol ekternal dari PTUN terhadap keputusan pejabat TUN yang menyalahi hukum, undang-undang dan asas-asas pemerintahan yang baik.

“Dengan berbagai argumentasi yang telah kami susun, kami yakin akan memenangkan pertarungan hukum di pengadilan. Hukum harus mengalahkan kekuasaan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait