Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Banting Setir
Oleh: Frans Hendra Winarta *)

Paradigma Bantuan Hukum Sekarang Harus Banting Setir

Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).

Bacaan 2 Menit

 

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2007 adalah sebesar 37,17 juta (16,58 persen). Data statistik fakir miskin tersebut di atas membuktikan bahwa kehadiran organisasi bantuan hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum bagi fakir miskin sangat penting, agar fakir miskin memperoleh akses yang tepat untuk memperoleh keadilan. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum sebagaimana dinyatakan Von Briesen sebagai berikut:

 

Legal aid was vital because it keeps the poor satisfied, because it establishes and protects their rights; it produces better workingmen and better workingwomen, better house servants; it antagonizes the tendency toward communism; it is the best argument against the socialist who cries that the poor have no rights which the rich are bound to respect.

 

Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.

 

Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat c.q. fakir miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh bantuan hukum.

 

Sedangkan pengetahuan fakir miskin akan hak-haknya, khususnya hak asasi manusianya, baru akan diperoleh kalau ada diseminasi dan penyuluhan tentang hak-hak mereka secara masif yang merupakan gerakan nasional yang didanai oleh negara dan masyarakat. Selain itu organisasi bantuan hukum harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum yaitu salah satunya dengan memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, dan jelas.

 

Sebelum era reformasi konsep bantuan hukum ditekankan pada konteks perlawanan fakir miskin terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang menindas. Hal ini tampak dari beberapa kasus yang ditangani oleh YLBHI seperti kasus Kedung Ombo, Marsinah, Tanjung Priok, dan Talangsari. Namun demikian dalam pemerintahan era reformasi yang lebih menghargai hak asasi manusia dan demokrasi, gerakan bantuan hukum harus mengubah paradigmanya dari konsep bantuan hukum yang menempatkan organisasi bantuan hukum berseberangan dengan pemerintah menjadi menempatkan negara sebagai mitra organisasi bantuan hukum dalam rangka program pengentasan kemiskinan.

 

Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat diberikan secara parsial dan sporadis tetapi harus diberikan secara masif dan mengajak negara c.q. pemerintah serta semua unsur masyarakat untuk memperkenalkan dan mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin baik yang berada di kota-kota maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi manusia secara cuma-cuma dengan mengajak peran serta masyarakat dan pemerintah sebagai mitra kerja. Peran serta pemerintah ini dapat terwujud dengan memasukkan program bantuan hukum ke dalam program pengentasan kemiskinan melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, dan penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN yang diatur dalam undang-undang bantuan hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags: