Para Pembela HAM Butuh Payung Perlindungan Hukum
Utama

Para Pembela HAM Butuh Payung Perlindungan Hukum

Perlu ada rumusan yang memuat ancaman pidana terhadap siapapun yang terbukti melakukan kekerasan terhadap pembela hak asasi manusia.

CRF
Bacaan 2 Menit
Para Pembela HAM Butuh Payung Perlindungan Hukum
Hukumonline

 

Cuma, harapan itu tampaknya tak akan berjalan mulus. Meskipun memberikan advokasi dan siap membantu, para aktivis menyerahkan sepenuhnya teknis pembuatan RUU kepada anggota Dewan. Karena merekalah organisasi yang sah untuk membuat Undang-Undang, Rusdi memberi alasan.

 

Dihubungi terpisah oleh hukumonline, anggota Komisi III Nursjahbani Katjasungkana meegaskan bahwa Komisi ini belum bisa membahas RUU yang dimaksud Rusdi dan kawan-kawan.  Secara prosedural, RUU harus masuk terlebih dahulu ke pimpinan DPR, lalu turun ke Badan Legislasi. Dari sana, naskah RUU masuk ke Badan Musyawarah untuk menentukan Komisi yang akan membahas, atau apakah perlu dibentuk Panitia Khusus. Dengan demikian, hampir mustahil membahas RUU kalau pimpinan DPR belum menerima RUU dimaksud.

 

Cukup Satu Pasal

Ketua Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Ifdhal Kasim punya pendapat berbeda. Meski mengapresiasi usulan Rusdi dan kawan-kawan, Ifdhal lebih memilih mengatur pasal perlindungan pembela HAM di dalam UU HAM. Jadi, tidak perlu diatur dalam satu Undang-Undang tersendiri. Perlindungan pembela HAM cukup diatur dalam satu pasal saja, yang di dalamnya dijelaskan mengenai hukum pidananya, ujarnya.

 

Katakanlah diatur dalam UU HAM. Pemerintah dan DPR perlu menambahkan satu pasal yang merumuskan sanksi pidana kepada mereka yang melakukan kekerasan, intimidasi, ancaman, atau pembunuhan kepada para pembela HAM. Pasal ini mengikat siapapun.

 

Penggunaan mekanisme hukum pidana merupakan salah satu instrumen yang bisa dipakai Pemerintah dan DPR. Instrumen lain yang bisa dipakai adalah perbaikan aturan hukum administrasi. Pemerintah mengatur lebih jauh dan membuat batasan terhadap organisasi-organisasi perkumpulan yang sifatnya operasional.

 

Ifdhal mengaku masih ada ancaman terhadap pembela HAM hingga sekarang, baik ancaman fisik maupun non-fisik. Ancaman fisik bisa berupa penganiayaan, pemukulan, atau pembunuhan. Pembunuhan Munir, terbunuhnya aktivis HAM Jafar Sidik di Medan, dan kekerasan fisik terhadap pembela HAM di Aceh contohnya. Ancaman non-fisik bisa berupa teror lewat telepon.

 

Sebenarnya, kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa dimanfaatkan para pembela HAM. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, LPSK bisa memberikan perlindungan kepada para pembela HAM, apalagi jika human rights defender sudah berubah menjadi korban kekerasan. Karena posisi pembela HAM bisa berubah menjadi korban, pungkas Ifdhal.

 

Berawal dari kematian Munir, sejumlah pihak mendesak Pemerintah untuk menyusun dan mempercepat proses RUU Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia. Selama ini para aktivis penggiat dan pembela hak asasi manusia (HAM) acapkali mengalami kekerasan dan ancaman, bahkan pembunuhan. Kematian Munir di atas pesawat Garuda pada September 2004 menjadi salah satu bukti nyata ancaman tersebut.

 

Munir bukan orang pertama san satu-satunya yang mengalami kekerasan. Sejumlah penggiat dan pembela HAM atau human rights defender meyakini kekerasan semacam itu masih akan berlanjut karena kurangnya perlindungan dari negara. Karena itu, kematian Munir dijadikan momentum untuk mengajukan gagasan RUU tentang Perlindungan Terhadap Pembela Hak Asasi Manusia. Para aktivis juga sudah menyampaikan ide tersebut kepada anggota Dewan. Setelah kejadian Munir, DPR menerima kami dan menjanjikan akan mengawaki proses untuk pembuatan RUU Perlindungan Bagi Pembela HAM, tegas Rusdi Marpaung, Managing Director The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial).

 

Ditambahkan Rusdi, Imparsial dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat berencana menagih komitmen Komisi III DPR RI untuk menyusun draft RUU dimaksud. Menurut dia, pembela HAM bukan hanya aktivis lembaga swasaya masyarakat atau non-govermental organization (NGO). Bahkan Inu Kencana dosen STPDN yang beberapa waktu lalu mengungkap adanya pembunuhan di almamaternya bisa disebut sebagai pembela HAM. Termasuk dengan Agus Condro yang mendatangi KPK bahwa dirinya telah menerima cek dalam kasus pemilihan Gubernur Bank Indonesia, ungkapnya.

 

Ketua Divisi Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi, M. Teguh Surya, menilai kehadiran RUU tersebut cukup penting menjadi payung bagi para pembela HAM. Payung hukum ini akan lebih menjamin kebebasan masyarakat untuk melakukan, melaksanakan, dan mempromosikan hak asasi manusia. Perlindungan terutama dibutuhkan kepada para pembela HAM di daerah-daerah konflik.

 

Senada dengan Teguh, Rusdi Marpaung berharap RUU dimaksud bisa segera dibahas Dewan. Harapan kami, tahun depan RUU ini sudah dibahas oleh Komisi III, ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: