Panja RUU PKS Bakal Libatkan Komisi III Bahas Pasal Pemidanaan
Berita

Panja RUU PKS Bakal Libatkan Komisi III Bahas Pasal Pemidanaan

Panja mengusulkan kata “kekerasan” dalam RUU PKS diusulkan diubah menjadi “kejahatan”, sehingga menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Melalui RUU PKS ini diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual secara optimal.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana rapat kerja antara Panja RUU PKS bersama pemerintah di Komplek Gedung DPR, Kamis (18/7). Foto: RFQ
Suasana rapat kerja antara Panja RUU PKS bersama pemerintah di Komplek Gedung DPR, Kamis (18/7). Foto: RFQ

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PSK) terus berjalan antara Panja RUU di Komisi VIII dengan pemerintah. Salah satu pasal yang menjadi perhatian tentang sanksi pidana, judul RUU, dan definisi. Khusus pasal-pasal pemidanaan dalam RUU PKS, Panja bakal melibatkan Komisi III karena sebagai komisi bidang hukum DPR.

 

“Mengenai pemidanaan tetap akan kita bahas sekalipum keputusannya itu nanti ada di Komisi III DPR,” ujar Ketua Panja RUU PKS, Marwan Dasopang dalam rapat kerja antara Panja RUU PKS bersama pemerintah di Komplek Gedung DPR, Kamis (18/7/2019). Baca Juga: Kabar Pro Zina, RUU Kekerasan Seksual Perkuat Perlindungan Korban

 

Marwan yang juga Wakil Ketua Komisi VIII ini menilai Komisi III lebih tepat dimintakan pendapatnya mengenai pasal-pasal pemidanaan dalam sebuah RUU. Meski sebatas meminta masukan, pembahasan bersama Komisi III demi mendapatkan pengaturan sanksi pidana yang bagus. Menurutnya, RUU PKS terus dibahas dan diupayakan dapat rampung sebelum berahirnya DPR periode 2014-2019 Oktober mendatang.

 

Anggota Panja RUU PKS Endang Maria Astuti menuturkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang mengatur sanksi pidana tetap dibahas Panja bersama pemerintah selain pembahasan DIM lain yang belum disepakati.

 

Anggota Panja lainnya, Rahayu Saraswati sepakat dengan usulan agar pembahasan pasal pemidanaan dalam RUU PKS dilakukan bersama Komisi III meskipun sebatas meminta pandangan dan masukan. “Ya saya setuju kita tetap membahas tentang sanksi pidana dengan Komisi III yang lebih mengerti apa yang kita rumuskan dalam RUU ini,” kata dia.

 

Selain itu, terkait judul RUU PKS ini belum disepakati karena dalam pembahasan masih terdapat usulan penggantian judul RUU. Karena itu, Rahayu meminta pembahasan pasal per pasal secara detail dalam RUU PKS tetap dibuka seluas-luasnya agar mendapat gambaran judul RUU yang lebih tepat.

 

Senada Anggota Panja dari PPP, Achmad Fauzan pun memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, judul dari RUU PKS mesti diubah. Dia mengusulkan kata “kekerasan” menjadi “kejahatan”. Dengan begitu, menjadi “RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.” Demikian pula, dengan definisi “kekerasan seksual” mesti disempurnakan menyesuaikan dengan judulnya.

 

Anggota Panja dari Fraksi PKS, Mohammad Iqbal Romzy sependapat dengan Fauzan agar kata “kekerasan” diganti menjadi “kejahatan”. Dia menyarankan agar keputusan soal pendefinisian ini perlu meminta masukan dari para ahli atau aktivis perempuan. “Jadi tidak ada salahnya kita dengarkan usulan dari mereka (ahli/aktivis) juga, karena tidak menutup kemungkinan usul dari teman-teman ada yang bagus,” lanjutnya.

 

Sementara Anggota Tim Panja Pemerintah Prof Venetia R. Dannes menerangkan RUU PKS ditujukan untuk perlindungan dan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana kekerasan seksual. RUU ini pun mengatur mekanisme perlindungan dan pemulihan yang berpihak pada korban dan memberikan rasa keadilan bagi korban kekerasan seksual.

 

Menurutnya, fenomena banyaknya kasus kekerasan seksual dan kekerasan lain telah banyak dilaporkan ke pihak berwenang dan banyak juga tidak dilaporkan karena ada alasan tertentu. “Kita berharap melalui RUU PKS nantinya dapat mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan seksual secara optimal.”

 

Deputi Perlindungan Hak Perempuan (PHP) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ini mengungkapkan korban akibat kekerasan (kejahatan) seksual ini umumnya adalah perempuan dan laki-laki. Tak hanya mengalami gangguan psikis, korban kerap mengalami luka secara fisik berupa pendarahan hebat, penyiksaan secara kejam, hingga berujung hilangnya nyawa.

 

“Semoga setiap pemikiran dan jerih payah kita dalam pembahasan RUU tentang PKS ini dapat dijadikan amal dalam memperjuangkan keadilan rakyat Indonesia,” katanya.

 

Di ujung rapat, Ketua Komisi VIII Ali Taher Parasong meminta DIM harus menjadi bahan untuk dipelajari secara mendalam oleh Panja dan pemerintah. Demikian pula, KPPA mesti konsentrasi memikirkan bagaimana pembinaan dan pemberdayaan perempuan dan anak menjadi lebih penting dalam upaya pencegahan kejahatan seksual. Menurutnya, RUU PKS  menjadi penting karena dua hal yakni sociologycal prudence dan social indirect.

Tags:

Berita Terkait